
JAKARTA, suaramerdekajkt.com- Betapa pentingnya masyarakat menjadikan Pancasila sebabai pegangan. Sebab, Pancasila bisa menjadi tatanan hidup dalam kehidupan Indonesia yang beragam karena terdapat nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan.
Hal demikian disampaikan Rohaniwan Katolik Franz Magnis Suseno dalam Talkshow Beranda Nusantara yang diselenggarakan RRI, Kamis 23 Juni 2022.
“Ini menjadi tugas kita bersama, termasuk penguasa, bahwa perlu membuat lebih nyata sila keempat Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab,” kata Franz Magnis Suseno.
Menurut Romo Magnis sila keempat memiliki banyak aspek. Mulai kebebasan beragama, bersosial, dan lain-lain.
Maka itu mengedepankan kemanusiaan yang adil dan beradab akan membuat Indonesia menjadi lebih kokoh.
Romo Magniz, yang juga seorang budayawan, menambahkan ada pandangan bahwa dalam tempo 50 tahun ke depan, manusia akan menjadi tidak relevan. Sebanyak 50 persen umat manusia tidak lagi berpikir relevan.
Karenanya, Romo menilai Pancasila bisa jadi solusi, terutama bagi masyarakat Indonesia agar tetap relevan dalam kehidupannya.
Talkshow edisi kali ini mengambil tema “Pancasila, Sejarah, dan Tantangannya”. Acara berlangsung di Galeri Tri Prasetya RRI, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta.
Turut jadi pembicara, antara lain Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia, Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam, Deputi Bidang Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam Janedjri M Gaffar dan Ulama KH Ahmad Muwafiq.
Di tempat yang sama, Angkie Yudistia menyatakan bahwa tantangan pemerintah dalam mengedukasi pengamalan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial terletak pada narasi pengimplementasian yang tepat.
Ini karena generasi milenial saat ini lebih menyukai dunia media sosial. Namun di balik itu, Indonesia beruntung karena generasi milenial mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
“Milenial sebagai kaum yang meneruskan estafet senior, tantangannya bukan hanya hafalan lima sila. Tetapi, narasi yang paling tepat adalah generasi milenial dapat mengimplementasikan Pancasila dan menjaga Indonesia,” ujar Angkie Yudistia.
Menurut dia, tidak benar jika ada pendapat generasi milenial antipati kepada pancasila, buktinya masih ada yang ahli bahasa Inggris namun tetap mencintai Bahasa Indonesia.
“Milenial tidak bisa lepas dari gadget (gawai). Dan kita tidak bisa melawan itu. Memang harus adaptasi. Indonesia beruntung karena menjadi salah satu negara yang siap oleh perubahan zaman,” imbuhnya.
Janedjri M Gaffar mengemukakan, Indonesia memiliki beraneka etnis, suku, ras, agama, hingga bahasa, dan Pancasila mampu menyatukan itu semua.
“Ini yang harus dipahami seluruh anak bangsa. Pancasila sudah teruji dapat mempersatukan seluruh keragaman tanpa menghilangkan keragaman itu sendiri,” kata dia.
Meski di tengah keanekaragaman tersebut, ia merasa kagum karena Pancasila dapat menyatukan semua elemen bangsa ini. Untuk itu, pihaknya meminta agar nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan dalam jiwa.
“Inilah (nilai Pancasila) yang harus ditanamkan dalam jiwa anak bangsa terutama generasi milenial,” tandasnya.
Janedjri juga mencontohkan banyak negara-negara yang tidak dapat mempertahankan persatuannya karena banyaknya keanekaragaman. Menurutnya, persatuan tidak dapat dipaksakan secara kekerasan.
“Seperti India terpecah menjadi Pakistan dan Bangladesh, lalu Yugoslavia ada Slovakia, Bosnia dan sebagainya. Uni Soviet juga begitu. Itu negara-negara yang pecah karena memaksakan persatuan dengan kekerasan tapi tidak dengan negara kita,” bebernya.
Di talkshow yang sama, ulama KH Ahmad Muwafiq meminta generasi milenial bisa mengamalkan dan menjaga nilai Pancasila yang sudah diwariskan dari para pahlawan pendiri bangsa.
Pria yang akrab disapa Gus Muwafiq itu mengingatkan para generasi milenial bahwa sangat sulit menyatukan bangsa-bangsa di Indonesia apabila tidak ada Pancasila.
Pancasila pula yang hingga sekarang mengikat bangsa ini menjadi satu dengan bukti Sabang sampai Marauke tetap berada dalam NKRI.
“Spirit agama ini yang menyatukan Indonesia seperti sekarang ini. Ini harus dijaga oleh anak-anak milenial,” kata Gus Muwafiq.
Ia mencontohkan banyak bangsa yang terpecah-belah karena tidak memiliki falsafah bernegara. Seperti di Arab, menurut dia, satu bangsa menjadi puluhan negara. Begitu juga Eropa, satu bangsa tetapi memilih menjadi puluhan negara.
“Indonesia puluhan bangsa bersepakat dengan satu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini sisi fundamental dari keberagaman, biar beda suku dan agama tapi tetap bertanggung jawab. Dan itu bukan hal yang mudah meletakkan kompromi-kompromi bangsa ini dibangun,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Gus Muwafiq, Islam sudah menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa karena kaidah yang terkandung di dalamnya sesuai dengan nilai-nilai Islam.
“Pancasila sebuah nilai yang sudah ada dalam kehidupan sehari-hari sebelum merdeka. Semisal, kalau ada kegiatan selalu bersatu dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,” jelasnya.
Sementara Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam mengutarakan, Pancasila tidak saja menyatukan ras, suku, budaya, dan agama dalam koridor Bhinneka Tunggal Ika, tapi juga membuat bangsa ini turut bertanggung jawab menciptakan dunia yang lebih damai.
Menurutnya, secara eksternal, Indonesia melakukan apa yang menjadi tujuan bernegara, yaitu mewujudkan perdamaian abadi.
“Pancasila sebagai pemersatu. Bagaimana menghilangkan ketimpangan kaya dan miskin, ketimpangan antara wilayah dan daerah. Apa yang menjadi tujuan bernegara, yaitu mewujudkan perdamaian abadi,” kata Asvi. (sm)