
Oleh Sosiawan Leak.
MAIN film adalah salah satu obsesiku yang tak berkesudahan. Terutama film-film yang dirancang tak gampangan, menantang, & bikin pontang-panting aktornya saat berperan. Baik pontang-panting lantaran konsep sinematografinya, konten skenario maupun proses pembangunan karakter tokohnya yang mesti melewati fase blingsatan karena aneka kerepotan.
Mungkin lantaran ukuranku kelewat subyektif & arogan, dari sejumlah tawaran main film cuma beberapa gelintir yang lolos screening serta suka ria kuterima hingga ikhlas melakoninya, tanpa menimbang besaran nafkah di lembar MOU-nya. Selalu kubilang pada sutradara yang berhasil merayuku, “Saya butuh ideologi bukan ekonomi. Saya inginkan wawasan, bukan sekadar sandang-pangan.”
Mungkin lantaran itu, tokoh-tokoh dambaan yang kumainkan cenderung antikemapanan, unik, spesifik serta kerap tak terduga pikiran, sikap, & tingkah polahnya.
Mungkin karena itu di film “Sar Gede“, aku jatuh hati pada bajingan ketengan yang gagal mengucap kata cinta ke janda beranak semata wayang, alih-alih mati-matian merumat anak kucing sekawanan yang dibuang di tempat sampah pojok pasar sebagai kamuflase kepengecutannya. Kumainkan dia dengan habis-habisan (setara penari jaran kepang kesurupan) kala beberapa kali shooting adegan dari pagi hingga pagi lagi.
Bajingan, preman pasar yang bangkrut secara kedigdayaan, harta benda, & moral. Bajingan yang kadung tak dipercaya pertobatannya oleh sesiapa. Bajingan yang pupus harap di dunia dan akherat, bahkan dituduh bakal mencincang & nguntal anak kucing yang dia selamatkan, sebagai trambul mabuk-mabukan.
Mungkin karena itu film-film yang kubela sepenuh kreativitas jiwa raga, sementara ini hanya film-film karya mahasiswa S2 yang kebak idialis, sekalipun lokak secara ekonomis. Mereka yang memproduksi karya dalam keterbatasan namun kaya akan keleluasaan gagasan & cara pandang, dikompliti dengan sistem produksi yang manusiawi, transparan serta penuh kekeluargaan.
Pernah memang, aku terlibat sebagai astrada sinetron puluhan episode di masa lampau. Pernah pula ditawari main film produksi ibukota; beberapa scene tanpa tantangan berarti kecuali potong rambut yang secara konteks tak bersangkut-paut! Kutolak dengan lembut.
Akan halnya film “Simpang Masa“, aku tergaga-gaga saat pertama jumpa dengan sang sutradara yang sekaligus menulis skenarionya. “Apa yang dibicarakan oleh Ronggowarsito, Raden Saleh, dan Mangkunegara IV, jika mereka bersua seusai perang Jawa?”, telak menohok ulu hatiku pertanyaannya.
Ronggowarsito (merujuk hasil risetnya adalah sosiolog yang waskita, wasis, & asketis) ia pertemukan dengan Raden Saleh, pelukis kritis yang selama 23 tahun usia produktif dia lakoni sembari mengembara ke manca negara.
Difasilitasi oleh penguasa Mangkunegaran periode 1853-1881, pujangga Kraton Sala yang akhirnya memprotes keras rezim penguasa lewat “Serat Kalatidha” itu dipertemukan oleh sutradara dengan pelukis “Gevangenname van Prins Diponegoro” yang mendekontruksi kepala para serdadu Belanda bak kepala buto dalam lukisan monumentalnya.
Kedua tokoh itu berdebat banal menyoal arah peradaban berikut inovasi zaman, di tengah sikap skeptis kaum pribumi yang keletihan memperjuangkan kemandirian beramunisi perang. Mereka menyelami emosi jiwa para kawula dan hamba sahaya yang mulai rindu ketenangan dan kedamaian meski semu, sebab harus berdamai dengan kolonial yang sewaktu-waktu boleh menghunus sembilu.
Sambil sesekali menyindir nyinyir ke rezim Mangkunegaran yang seolah mengambil laku utama, menyelamatkan rakyat sebatas sewilayah kekuasaannya lewat kemandirian usaha; bekerjasama & berdagang dengan bangsa Eropa, termasuk pemerintah kolonial Belanda.
Betapa aku terheran-heran diterjang data sejarah bertebaran; terdedah oleh skenario yang memusar dalam namun tetap berimbang.
Bahkan hingga kini, aku masih tak terima kala ending film itu menuliskan, bahwa Raden Saleh akhirnya ditangkap pemerintah penjajah lantaran melakukan permufakatan jahat hendak mengobarkan pemberontakan! (Bb-69)