Gelanggang Rembuk Imajiner.

Sitok Srengenge. (Foto Doc Pribadi).

Oleh Sitok Srengenge 

Sekelumit Kesan Perihal Prosa Goenawan Mohamad

MONOLOG “Surti dan Tiga Sawunggaling” dibuka dengan keinginan tokohnya untuk bercerita panjang, tapi ia bingung di mana awalnya, di mana akhirnya. “Tapi saya tahu, saya harus memilih. Tidak gampang. Tidak gampang,” katanya.

Saat pertama kali membaca lakon itu, saya tidak lantas menduga akan berhadapan dengan narasi yang gagap. Nyatanya Surti tidak hanya bercerita dengan lancar dan berlapis, tapi juga mengungkap begitu banyak hal, dalam beberapa cuatan dan lekukan grafik perasaan, dari yang logis hingga yang ilogis, dan memukau.

Pernyataan Surti itu senada dengan pengakuan pengarangnya, Goenawan Mohamad (GM): pernah ingin menulis cerita pendek, tapi merasa gagal.

Bagi saya pengakuan itu tak lain ekspresi yang rendah hati. Saya tahu GM seorang pencerita yang piawai, sering kali kocak. Ia mahir memilih bagian-bagian yang patut dan perlu dikisahkan, yang berharga, dan karenanya bisa dikenang lama.

Saya terus teringat tuturannya tentang masa kecilnya di Batang, interaksinya dengan para nelayan, upayanya menyegarkan teater rakyat setempat dengan menyodorkan lakon “Romeo dan Juliet”, tentang pergerakan ayahnya pada masa perang, guru bahasa yang bertanya arti “berselonjor kaki”, seorang yang mengayuh sepeda di atas atap, atau tentang situasi pengungsian di Wonosobo.

Lebih dari itu, GM membuktikan yang sebaliknya. Ia memang tidak, atau belum, menghasilkan barang sebuah cerpen—dalam pengertian yang lazim, formalistik, “cerita yang rampung dibaca dalam sekali duduk”, teks fiksi seperempat sampai setengah halaman koran.

Cerpen, dalam arti itu, hanyalah satu varian bentuk dari prosa, yang kini batasan serta kaidahnya tak lagi rigid. Gagasan perihal kebebasan berekspresi, juga dorongan untuk menemu dan mencoba bentuk-bentuk baru, telah menghasilkan ragam karya yang mengaburkan definisi dan kategori. Tak selalu gampang, misalnya, membedakan puisi naratif dengan fiksi mini yang puitis—andai tanpa penyebutan dari penulisnya.

BACA JUGA :  KSP : Kebaya Bisa Tunjukan Identitas Perempuan Indonesia

GM telah menghasilkan begitu banyak karya prosa, pendek maupun panjang. Tak sedikit di antaranya memenuhi kaidah dan unsur-unsur cerpen, yang konvensional maupun yang eksperimental. Dengan demikian, menulis atau tidak menulis cerpen hanyalah perkara pilihan.

Saya ingat William Faulkner, ketika ia mengaku sebagai penyair gagal. Katanya, “Barangkali setiap novelis pada mulanya ingin menulis puisi, ternyata tidak bisa, lalu mencoba menulis cerpen… Dan, gagal dalam hal itu, baru kemudian mulai menulis novel.”

Kita tahu, GM bukan orang yang tak bisa menulis puisi. Ia seorang di antara sedikit penyair terkemuka Indonesia, puisi-puisinya berpengaruh luas dan melesap dalam. Kerap pula ia disebut jurnalis, kadang esais.

Selayaknya, tanpa keraguan, ia juga dipredikati sebagai “prosais”, mengingat karya prosanya tidak hanya jauh lebih melimpah dibanding puisi dan tulisan jurnalistiknya, tapi juga menjangkau lebih banyak pembaca.

Khalayak pembaca tentu telah mafhum, karya prosa GM mayoritas berupa esai, resensi, artikel, kritik, makalah, atau teks pidato. Tapi ia juga menulis sejumlah lakon dan, belakangan, novel.

Secara umum yang pertama memikat saya adalah plastisitas bahasanya: lentur tapi tidak lembek. Rima, ritme, irama, kesenyapan, jeda, perhentian—semua tersusun sangat tertib, sebagai rambu-rambu sintaksis yang membimbing gerak kognisi pembaca.

Orang boleh berasumsi bahwa plastisitas bahasa itu berkorelasi dengan kepenyairannya. Tapi, percayalah, hal itu bukan kemahiran teknik yang serta-merta. Banyak penyair yang juga menulis prosa, tapi jarang yang menunjukkan intensitas kebahasaan hingga mengurat menjadi sidik jari.

Umumnya masih terbentang jarak jembar di antara puisi dan prosa mereka, masing-masing genre seperti lahir dari pikiran yang berbeda.

Karya-karya GM tidak demikian. Ada keselarasan nada pada keduanya, puisi dan prosa. Di sana bahasa bukan sekadar instrumen pengantar pesan, melainkan hadir sebagai subjek yang hidup, berkehendak.

Bunyi dari tiap kata, bahkan suku kata, bergaung dan membangunkan kata-kata lain yang berada pada kesetaraan frekuensi. Seperti digerakkan oleh naluri, kata-kata itu lantas berbaris rapi: membentuk kalimat, menyusun wacana.

BACA JUGA :  Digital Movie Competition 2020. Putus dan On The Radio, Terbaik.

Hasilnya: ribuan karya tulis, dengan gaya pengucapan yang konsisten dan mutu yang terjaga. Barangkali itulah salah satu capaian penting seorang penulis yang setiap hari, selama puluhan tahun, bekerja sungguh-sungguh meracik dan mengolah bahasa, dan terus memperbarui diri dengan menyerap berbagai pengetahuan.

Dengan capaian seperti itu GM juga telah menunjukkan etos kerja seorang penulis yang baik dan tangguh.

Seorang penulis yang baik sering kali membuktikan intensitas pergulatan dengan bahasa lebih gigih dibanding guru bahasa atau linguis di lembaga bahasa.

Ia tidak hanya fokus berkutat pada logos, konsep, makna; tak hendak terjebak pada tata yang baku dan beku, atau sekadar membuat bentukan kata atau frasa berdasar analogi yang goyah.

Penulis yang baik mampu menangkap suara paling lirih dan nuansa paling samar dari tiap kata. Ia tidak dilumpuhkan dan diperdaya, tapi sebaliknya, menggairahkan dan memberdayakan, bahasa.

Dalam dirinya kata-kata bagaikan plasma darah, mengalir serasi dengan napas.

Bagi pengguna bahasa yang selebor dan teledor, kecanggihan berbahasa seperti itu bisa dianggap sebagai eksklusivitas yang ganjil. Barangkali lantaran itu pembaca karya GM relatif terbatas, umumnya dari kalangan terdidik, lebih khusus yang berpikir terbuka.

Satu-dua di antara mereka kadang berkesah bahwa tulisan GM tidak gampang dicerna. Ada dua kemungkinan yang menjadi sebab: “jarak bahasa” dan “bentang wawasan”.

Intensitas persentuhan orang per orang dengan bahasa akan menjadi pintu penentu bagi kehadiran informasi: menerima yang akrab, menolak atau menyaring yang asing.

Orang yang kesehariannya berkomunikasi secara longgar, tidak sadar atau abai pada kekeliruan berbahasa, bisa jengah dan sulit paham ketika menghadapi wacana dengan kaidah kebahasaan yang ketat, vokabuler yang kaya, komposisi sintaksis yang dinamis.

Seperti pengendara sepeda motor yang sembrono, bisa merasa gerah dengan aturan memakai helm atau tak sabar menunggu lampu lalu lintas menyala hijau.

BACA JUGA :  Vaksin Nusantara

Ketertiban dan aturan dalam wujud beragam rambu, yang sesungguhnya bisa menunjang keamanan dan kenyamanan itu, dirasa menganggu.

Butuh bekal cukup untuk memasuki prosa GM, agar interaksi selama proses rekonstruksi makna tak tersendat. Bekal pengetahuan dan empati kita menjadi tiket sejauh mana kita bisa terlibat.

Prosa GM umumnya bukan narasi linier dengan tindakan-tindakan gagah yang gegas. Mereka lebih menyerupai “gelanggang rembuk”, semacam forum dialog, di mana peristiwa dibangun dari serpih-serpih imaji dalam kurun singkat.

Di gelanggang itu bertemu para tokoh yang datang bukan dari satu tempat dan satu zaman, dengan gagasan berbeda dari khazanah berlainan.

Mereka berdialog, saling mengoreksi atau melengkapi, menggerakkan cerita, perlahan. Seperti sebuah pentas, pembaca adalah penonton yang dilibatkan, tidak hanya melihat dan mendengar, tapi sekaligus dirangsang berinteraksi melalui pencerapan dan penafsiran (pikiran) serta reaksi-reaksi emosional.

Akhirnya kita sampai di titik pungkas, seperti ketika layar pentas mengatup atau panggung kembali gelap; tapi itu bukan ending, tak kita saksikan adegan final.

Prosa GM bukan risalah yang menyodorkan amanat dengan kesimpulan. Mereka lebih mengutamakan keberlangsungan dialog, proses manifestasi ide-ide.

Dengan begitu GM telah memilih peran dan posisinya sebagai cendekiawan yang berdiri di pinggir. Ia tidak menghambur ke tengah, ikut campuh dengan mereka yang mendesakkan kebenaran dan kebijakan.

Karyanya ibarat tangan yang menyentuh, atau menepuk pundak, agar kita tersadar dan berpartisipasi merawat kewarasan nalar kolektif.

Mengenai keberhasilan prosanya, saya merujuk kata-kata GM sendiri: “Melalui pengalaman, saya tahu bahwa penyair-penyair yang buruk adalah penyair yang menulis prosa yang buruk.” Prosa GM membuktikan bahwa penulisnya bukan bagian dari mereka. (Bb-69)

Teks ini bagian dari buku “80 Tahun Burung-Burung: Goenawan Mohamad di Mata Para Sahabat”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Enter Captcha Here :