
JAKARTA, Suaramerdekajkt.com — Jay Subyakto mempunyai jawaban tersendiri atas lamanya pandemi Covid-19 terjadi di bumi. Menurut Creative Director Forestra, itu pandemi adalah jawaban alam atas kerakusan manusia.
Karena pandemi, menurut dia, terjadi setiap seratus tahun. “Setelah pandemi ini, yang lebih mengkawatirkan adalah kenaikan suhu. Permukaan laut akan naik sampai tujuh meter, dan beberapa kota besar akan tenggelam,” kata Jay Subyakto dalam sesi daring rilis dokumenter Forestra di Jakarta, Selasa (10/8/2021).
Jay menambahkan, darurat iklim dalam sepuluh tahun ke depan, akan menjadi persoalan mendesak. “Dan yang bisa menyelamatkan kita ada ilmu pengetahuan,” tekannya.
Oleh karena itu, imbuh dia, di masa pandemi ini, maju mundurnya sebuah masyarakat dan negara akan terlihat sekali.
Ihwal Forestra, pertunjukan musik Orchestra di Forest, adalah sebentuk
kampanye untuk penyelamatan hutan, adalah sebuah langkah yang penting.
“Tapi yang paling penting adalah para pembuat keputusannya. Yang selama ini tidak memperhatikan keselamatan hutan. Seperti tetap membuka lahan untuk Kelapa sawit, dan pembalakan hutan contoh nyatanya,” katanya
“Maka saat Akbar Maulana meminta saya membuat pertunjukan di hutan Cikole, saya antusias sekali. Saya mau terlibat karena yang mau kita hadirkan adalah kualitas, dengan memajukan musik Indonesia,” imbuh dia.
Jay Subyakto menambahkan, dengan konsep panggung floating di tengah hutan. Dia berharap dapat melaraskan pemanggungan dengan nuansa hutan. “Meski idenya ngga mudah dan murah. (Karena) Semua yang bagus, tidak gampang dicapainya. Dengan stage yang sesuai dengan lingkungannya. Dengan penonton dan pemain dapat bersatu dengan alam. Saya berusaha jangan sampai memotong satu pohon sekalipun. Dengan panggung, hampir permanen, karena kokoh. Plus lighting tidak mengganggu penonton. Juga video mapping yang laras, dengan musik yang mengalun. Serta kualitas sound yang mumpuni,” terangnya.
Dia berharap, dengan Forestra, dapat melestarikan hutan.
“Harusnya di setiap hutan konversasi dibuat panggung yang tidak mengganggu alam. Dengan prokes yang ketat, kita tetap bisa bikin Forestra. Karena betapapun pertunjukan musik hidup emosinya berbeda,” pungkasnya yang berkeyakinan hutan adalah paru-paru dunia, dan harus tetap heterogen. Agar spesies dapat tinggal dan hidup di sana.
“Ini masalah kita, agar bagaimana menyelamatkan bumi yang tidak ada cadangannya”. (Bb-69)