
Film Ali & Ratu Ratu Queens.
JAKARTA, Suaramerdekajkt.com — Jika Anda ingin belajar arti penerimaan, kemudian berdamai dengan persoalan, sebelum pelan-pelan melepaskan masa lalu yang jauh dari sempurna, masa kini yang omong kosong, dan tidak ideal sama sekali. Demi masa depan yang lebih lumayan dan menjanjikan, maka film Ali & Ratu Ratu Queens, lebih dari pantas untuk disaksikan.
Meski jauh dari sempurna, baik dari segi cerita juga penyutradaraannya, tapi dari ketidaksempurnaannya, film ini tetap sanggup menghidupkan cahaya kemanusiaan.
Karena dari cerita yang ditulis Gina S Noer inilah, penonton akan belajar mengeja makna penerimaan. Atau dalam bahasa agama acap disebut keikhlasan, keridloan.
Ikhlas menerima diri kita sendiri tanpa syarat, utuh dan penuh. Meski, “Ini muka penuh luka,” kata Chairil Anwar. Untuk kemudian belajar menghentikan menghukum diri kita sendiri dengan pikiran negatif. Akibat pukulan kenyataan yang serba absurd, tak tereja dan karenanya sulit diterima akal waras manusia.
Demikianlah remaja Ali (Iqbaal Ramadhan) yang didorong keinginan purbawinya hendak mencari ibunya yang terdampar di kota Queens, New Yorks, AS. Dari Jakarta, Ali, berbekal uang sewa rumah bapaknya — yang telah wafat dihantam stroke, karena stres terlalu lama ditinggal pergi istrinya ( ibu Ali ) bekerja di Queens — mabur ke kota kosmopolitan itu.

Apa yang terjadi selanjutnya. Drama.
Mia (Marissa Anita) yang kemudian bersiborok nasib dengan anak semata wayangnya — yang telah beranjak remaja, sudah lulus SMA, setelah sekian lama ditinggalkannya, dari bocah — di rumah tinggalnya dengan keluarga barunya. Secara instingtif, malah melakukan penolakan, dan penyangkalan.
Sebuah tindakan nekat yang tidak galib dilakukan seorang ibu. Yang ada, biasanya, anak melakukan penyangkalan, atau tidak mengakui ibunya sama sekali, karena berbagai alasan subyektifnya. Yang ada ibu akan mencari anaknya, membelah badai, menantang gunung dan pergi ke dasar sumur paling tak berdasar sekalipun.
Sulit menerima kenyataan, New York telah mampu mengubah sisi paling instingtif sekaligus animal dari perempuan menjadi tidak beradab, Ali kembali ke pelukan empat tante asli Indonesia. Yang satu diantaranya mantan kawan lama Mama Ali, yang rerata telah 15 tahun menyambung nafkah di Amerika.
Di bawah lindungan Party, Biyah Ance dan Chinta, yang dilakoni dengan lucu dan terkadang lebai oleh Nirina Zubir, Asri Welas, Tika Panggabean, dan Happy Salma, pelajaran tentang kehidupan mulai didapatkan Ali.
Dari keempat tante inilah, — yang entah bagaimana ujug-ujug dan dengan gampang menerima Ali — pelajaran tentang penerimaan akan mendewasakan Ali.
Juga hadirnya tokoh Eva (Aurora Ribero), anak Tante Ance, akan memperkaya sisi humanis Ali, pada akhirnya. Meski pada awalnya, kepayahan setelah mendapatkan penihilan dari ibu kandungnya sendiri. Manusia yang telah melahirkannya ke bumi. Dan membantarkannya dari bocah.
Di tangan Lucky Kuswandi sebagai sutradara, Ali & Ratu Ratu Queens, mengalir dengan menyenangkan. Bahkan dalam beberapa adegan menenggelamkan, terutama di endingnya. Karena toh pada akhirnya, semua tokoh mencoba berdamai dengan realitasnya masing-masing.
Lucky yang pernah menghentak via film pendek The Fox Exploits The Tiger’s Might, tampaknya makin mahir sebagai dirigen utama atau sutradara film.

Sedangkan Gina, yang pernah dinobatkan sebagai Penulis Skenario Asli Terbaik dan Penulis Skenario Adaptasi Terbaik sekaligus via film Dua Garis Biru dan Keluarga Cemara pada FFI 2019, tahu bagaimana persoalan kemanusiaan harus disajikan.
Sebagai drama komedi, film diproduksi Palari Films, yang mengambil latar tempat di kota Queens, New York dan Jakarta, ini juga mampu menempatkan kekuatan musik sebagai roh utama sebuah film.
Mar Galo dan Ken Jenie sebagai penata musik, bersama sinematografer Batara Goempar, mampu membuat kota Queens yang berisik di siang hari, malih rupa menjadi syahdu di senja dan malam hari, dengan jutaan lampu merkuri.
Sebagai karya seni yang komplek, film Ali & Ratu Ratu Queens, yang diedarkan di Netflix, akhirnya tetap berhasil menjadi tontonan yang mumpuni. Tanpa harus dibandingkan dengan film Indonesia lainnya. Yang tetap mempunyai kekurangan dan kelebihannya sendiri.
Dengan kata lain, film yang juga dilakoni Bayu Skak, Cut Mini Theo, dan Ibnu Jamil ini, terlalu sayang untuk dilewatkan, juga diabaikan.
Karena sebagai karya seni, penonton tidak bisa serta merta, semena-mena mempertanyakan semua logika dasarnya. Kok adegan ini begini, kok ceritanya begitu. Kan ngga nyambung, kan meloncat ceritanya, dan seterusnya. Meski hal itu tetap wajar adanya, tersebab, penonton telah membayar dalam jumlah tertentu sebuah karya film.
Meski kreator, atau pembuat film juga mempunyai apologia, dengan mengatakan bahwa karya seni tidak dapat dilukiskan, dijelaskan atau diparafrasekan. Sehingga tidak akan pernah ada kritik film yang pas dan mustahak atas sebuah karya film. Betapapun berkualitas hasil amatan dan kritikannya.
Betapapun tindakan kritiknya mampu memberikan deskripsi yang benar-benar akurat, tajam, berkedalaman, fair dan penuh kasih tentang sebuah karya film sekalipun.
Meski demikian, jalan tengahnya, sebuah film betapapun jeleknya, dalam banyak hal harus tetap ditemani, dan ditonton pada akhirnya. Apalagi sekelas film Ali & Ratu Ratu Queens. Karena lima elemen dasar filmnya, yaitu narasi, sinematografi, suara, mise-en-scene, dan editing, disajikan dengan apik. (Bb-69)