P2G : Dana AN Sebaiknya Direalokasikan untuk Bantu PJJ

SMJkt/Ist

JAKARTA, Suaramerdekajkt.com – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyebutkan dana Asesmen Nasional (AN) sebaiknya dialokasikan bagi kebutuhan mendasar pendidikan, terutama di masa pandemi Covid-19 seperti ini. Untuk diketahui bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) mengalokasikan sekitar 1,48 Triliun rupiah untuk penyelenggaraan Asesmen Nasional.

Menurut P2G, lebih baik anggaran sebesar ini direalokasikan untuk membantu pembelajaran jarak jauh (PJJ) akan berkualitas dan mengurangi ketimpangan digital di banyak daerah.

“Anggaran digelontorkan sangat fantastis, untuk program AN yang tidak mendesak dilakukan di masa pandemi,” ujar Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri melalui keterangan tertulis, Jumat (30/7).

Selain itu, Kemdikbudristek acap kali menyampaikan jika ujian nasional (UN) berbeda dengan AN, dan juga menyatakan AN tak perlu ada persiapan khusus baik oleh siswa, guru, termasuk orang tua.

“Tetapi faktanya, laporan terbaru dari jaringan guru dan kepala sekolah P2G, Kemdikbudristek baru saja merilis ke pihak sekolah, daftar 45-50 nama siswa kelas VIII dan XI yang dipilih untuk mengikuti AN pada Oktober 2021 nanti,” terangnya.

Bagi P2G, ini strategi yang sangat berbahaya bagi sekolah lebih khusus siswa. Tragedi UN akan kembali terulang jika pola ini tetap dilakukan.

“Lima puluh siswa yang dipilih ini akan benar-benar terbebani secara psikologis, sosial, bahkan ekonomi. Mengapa? Kondisi psikologinya akan tertekan, sebab mereka mewakili sekolahnya untuk ikut AN,” imbuhnya.

Dengan menjawab serangkaian soal Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), numerasi dan literasi, mengisi Survei Karakter. Jawaban mereka akan mempengaruhi potret atau data profiling sekolah.

“Orang tua yang mampu pasti akan mengirim anaknya belajar tambahan ke Bimbel luar sekolah, demi hasil AN yang tinggi dan memuaskan semua pihak. Sedangkan siswa miskin, apalagi nilai akademik rendah tidak mampu berbuat apa-apa. Siswa miskin dan nilai akademik rendah akan jadi beban sekolah dalam AN,” demikian kekhawatiran Iman.

Jika saja nilai AN hasilnya rendah, nama baik sekolah sampai Dinas Pendidikan tercoreng. Anak termasuk guru berpotensi disalahkan oleh birokrat pendidikan daerah. Dianggap tidak serius menyiapkan AN agar hasilnya bagus.

“Praktik pembelajaran sekolah akan seperti era UN. Guru akan selalu mendrilling 45-50 anak untuk belajar menjawab kisi-kisi soal AN,” bebernya.

Iman menjelaskan bahwa energi sekolah, guru, kepala sekolah, pengawas, sampai Kepala Dinas akan fokus demi hasil AN Sekolah yang terbaik. Demi nama baik sekolah, yayasan, dan pemda.

“AN kembali akan menjadi ritual menakutkan, karena diglorifikasi. Sebab hasil yang bagus akan menjadi kebanggaan sekolah dan pemda,” jelasnya.

Dengan demikian, “kastanisasi Sekolah Unggulan” akan muncul kembali, padahal Kemendikbudristek melalui Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi ingin mengikis kastanisasi sekolah dengan prinsip pemerataan yang berkeadilan. Lagi-lagi anak akan menjadi korban ambisi orang-orang dewasa melalui kebijakan terstruktur dari Kemendikbudristek.

“Jika demikian, wajar saja AN dan UN dipersepsikan sama. Nyatanya hanya beda nama, sedangkan esensi dan daya rusaknya terhadap anak dan sistem pendidikan ternyata masih sama saja,” ungkapnya. (nya/69)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *