Memangkas Importasi Sapi, Memperbesar Konsumsi Daging Domba : Oleh Harun AL Rasyid,S.IP

KURANg dari seminggu lagi kita akan menghadapi hari suci umat islam iedul fitri, persoalan yang dihadapi dari tahun ke tahun ketika menghadapi hari raya besar ini adalah persoalan ketidakstabilan harga Sembilan bahan pokok yang salah satunya adalah daging sapi. Biasanya harga daging sapi akan selalu merangkak dari mulai hari pertama puasa dan mencapai puncaknya Ketika h-3 menjelang iedul fitri. Permasalahan klasik ini terus dihadapi dari tahun ke tahun, yang seakan kita dan Pemerintah tidak memiliki satu solusi apapun untuk mensiasati persoalan ini. Biasanya, diluar kebiasaan yang terjadi saat ini (karena adanya Covid-19) hal ini menjadi isu besar yang terkadang selalu dibahas di media televisi ataupun cetak, hanya karena adanya covid 19 hal ini seakan senyap tanpa suara.
Senyap tanpa suara sehening bagaimana pemerintah mulai melakukan importasi daging sapi Brasil (diluar daging India yang sudah berjalan dan daging Australia-pen) dengan dalih menjaga stabilisasi harga dan kebutuhan daging sapi menjelang lebaran. Seperti yang diberitakan oleh beragam media, yang menjadi garda terdepan importasi ini adalah 3 BUMN besar, yakni RNI,BULOG dan Berdikari. Jumlah importasi yang dilakukan ketiga BUMN ini cukup beragam, hanya berdasarkan informasi yang dirilis kemetrian perdagangan j untuk import daging sapi Brasil dan India jumlahnya hamper 120 ribu Ton. Jumlah yang sangat besar, apabila di asumsikan berat daging satu sapi dan kerbau adalah 300 kg, maka itu hamper setara dengan 400 ribu ekor sapi atau kerbau. Terbayang betul oleh kita jumlah fantastis dan nilai dagang yang sangat besar.
Lalu bagaimana kondisi harga daging hari ini menjelang lebaran? Apakah tujuan pemerintah untuk stabilisasi harga tercapai? Ternyata jauh panggang dari api, harga hari ini di pasar kramat jati dan pasar minggu saja sudah menyentuh angka 125.000,/kg- bahkan berdasar data infopangan.jakarta.go.id harga rata-rata di Jakarta menyentuh angka 131.500/kg. Tujuan untuk stabilisasi harga pangan daging ternyata hanya topeng semata dalam pemulusan importasi daging sapi dari Brasil hari ini.
Indonesia sudah sangat crowded dengan beragam daging import di pasar, baik pasar basah maupun hypermarket mulai dari Australia, India dan Brasil. Parahnya dua negara terakhir masih belum bebas juga dari penyakit foot and mouth disease(FMD) yang sangat membahayakan manusia, tapi beragam argumentasi dikeluarkan untuk kelulusan dua negara ini masuk ke Indonesia dengan beragam diskursus yang sudah bosan dilakukan tanpa solusi yang nyata di dalamnya. Ada yang membela Australia dengan beragam argumentasinya, ada yang mencoba merasionalisasikan India dan Brasil, tapi toh esensinya sama, solusinya instan tanpa menyentuh inti persoalan yakni kesejahteraan peternak dan keamanan konsumen. Lalu sebetulnya apa yang menjadi persoalan? Apa yang harus Pemerintah lakukan?
Memang menjadi persoalan Ketika jumlah sapi di Indonesia hari ini tidak mampu memenuhi kebutuhan daging sapi masyarakat di Indonesia, dan ini sudah menjadi persoalan laten yang dari satu Presiden ke Presiden lainnya sampai hari ini sulit sekali menyelesaikan. Dulu dalam tulisan saya sebelumnya, dan sampai hari ini masih saja berlaku bahkan jauh lebih parah, jumlah sapi local yang dipotong di RPH-RPH saat ini tidak lebih dari 3 ekor dalam satu hari dan ini sangat jauh dari masa lampau yang biasanya 15-20 ekor satu hari sebelum importasi Australia yang masih dilanjutkan dengan India dan Brasil. Harga yang masih sangat tinggi menunjukan bahwa importasi sebetulnya bukan juga solusi utama dalam persoalan harga daging di Indonesia, karena memang di pasar tradisional tidak ada istilah daging kerbau, tidak adad aging sapi import, yang adad aging sapi segar, tidak perduli itu hasil dicampur atau tidak dengan daging kerbau india ataupun sapi Australia dan Brasil. Peternak tetap saja gigit jari dalam pesta iedul fitri ini, mereka tetap menjadi penonton di negeri sendiri, yang bersorak sorai tetap saja importir dan eksportir dari negara-negara tersebut diatas, dan tentu saja sedikit kaum birokrat yang mendapatkan fee atas suksesnya importasi ini. Well, kami juga sebagai penulis tidak mau hanya mengeluh dan menceritakan persoala- persoalan, tapi kami ingin juga memberikan masukan yang mungkin saja bisa dijadikan sedikit point dalam penyusunan road map pembangunan swasembada daging di Indonesia.
Pertama, meski bukan yang utama; Pemerintah harus membebankan kewajiban kepada importir sebagai pelaku import pembinaan dan perbibitan yang dilakukan Bersama peternak di Indonesia, ini bisa dilakukan dengan cara Kerjasama dengan asosiasi-asosiasi sapi yang ada di Indonesia, sebagai contoh kalaulah saja jumlah daging yang diimport oleh satu importir adalah 12ribu ton, maka itu equal dengan sapi hidup sebanyak 40.000 ekor sapi dan setiap importir wajib membina peternak dengan 40-50% jumlah tersebut yakni 16 ribu ekor dengan ribuan peternak yang luar biasa banyak. Tentu ini menjadi kewajaran mengingat keuntungan yang begitu besar yang didapat oleh para importir itu sendiri dengan harapan menjadi jalan awal menuju swasembada daging.
Kedua, ini yang pernah kita bahas Bersama; yang menjadi persoalan kenapa daging local kita kurang bersaing bukan karena kualitas ataupun hal lainnya, ini lebih karena tidak adanya transparansi dalam penjualan daging di pasaran, baik pasar becek ataupun supermarket. Di Brunei ataupun di Malaysia, ada grading ataupun klasifikasi daging-daging yang dijual di pasar dengan harga yang beragam. Harga daging kerbau ditulis jelas dengan harga yang lebih murah disbanding daging import Australia, pun harusnya di Indonesia dilakukan hal yang sama, sehingga konusmen dilindungi hak dalam memilih daging berdasarkan kantongnya, berdasarkan seleranya pun berdasarkan keamanan dagingnya. Mereka bisa saja mengeluarkan uang besar karena tau sapi local Indonesia lebih sehat dan segar dipotongnya dibandingkan daging kerbau India yang murah misalnya. Ini harus dilakukan dan disinergiskan antara kementrian perdagangan, kepolisian, Lembaga perlindungan konsumen dengan membentuk satgas perlindungan pangan dan konsumen misalnya, apabila ini dilakukan kami yakin daging local Indonesia dan peternak masih punya nafas di negeri ini.
Yang ketiga dan utama, harus ada campaign yang dilakukan oleh Pemerintah untuk merubah minat dan paradigma di masyarakat tentang protein hewani. Bukan hanya mengenai daging sapi saja atau ayam, ada sesungguhnya protein hewani lainnya yang bisa dikembangkan dan menjadi konsumsi utama masyarakat kita yakni daging domba yang jumlahnya sangat luar biasa dan dimiliki langsung oleh peternak rakyat di Indonesia. Kenapa ini harus mulai dilakukan? Karena sesungguhnya nilai kolestrol jahat dalam daging domba berdasarkan Persatuan Dokter Hewan Indonesia(PDHI) adalah paling rendah dibanding sapi dan ayam sekalipun, tentu domba merupakan panganan protein hewani yang sehat. Seperti yang banyak diberitakan oleh beragam media, domba Indonesia hari ini sudah menembus pasar eksport dunia, dari mulai Malaysia Brunei dan Abudhabi, bahkan negara timur tenga lainnya sangat meminati domba dari Indonesia.
Hal ini terjadi karena populasi domba di Indonesia yang begitu besar yang sampai 20 juta ekor lebih dengan nilai konsumsi yang tidak begitu banyak di Indonesia, kebanyakan masyarakat masih awam dalam konsumsi domba untuk rendang ataupun semur, kita terbiasa dengan sate dan gulai ataupun tongsengnya saja. Padahal diluar negeri banyak betul panganan yang bisa dibuat dari daging domba ini semisal lambchop ataupun sosis domba dan lain lain termasuk domba bakar. Harapan kita, ada campaign yang massif dari pemerintah dalam membumikan daging domba di Indonesia supaya seperti terjadi di Brunei Malaysia ataupun Timur Tengah, jika hal ini berhasil tentu akan memutus rantai importasi daging sapi dari Australia ataupun kerbau dari Brazil atau India, karena ada perubahan pola konsumsi masyarakat dari sapi ke domba, sehingga setiap lebaran iedul fitri tidak lagi dijadikan alasan dalam melakukan importasi daging besar-besaran yang menguntungkan segelintir pihak saja. Tentu ini juga akan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan peternak domba di Indonesia karena hanya domba inilah yang menjadi hewan ternak yang saat ini masih dimiliki oleh rakyat kebanyakan. Semoga bisa berjalan dan importasi segera dikendalikan agar Peternak Sejahtera Indonesia Jaya, Petani kuat Indonesia Berdaulat!!!!
*Penulis adalah Wakil Ketua Komite Kadin Pusat bid Industri Peternakan dan Kemitraan.
* Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia (PPSKI) Jabar periode 2016-2021
*Ketua Koperasi Peternak Indonesia Cita Berdikari (KP-ICB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *