Ekonomi Amerika Serikat Mulai Tumbuh Ekspor Indonesia Pun Mekar

Jakarta,Suara Merdeka.Com.- Bank Indonesia (BI) menilai mulai membaiknya perekonomian global khususnya Amerika Serikat (AS) bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk mempercepat pemulihan ekonomi dengan menggerakkan mesin ekspornya.
Deputi Gubernur BI Sugeng mengatakan, perekonomian global berpotensi tumbuh lebih tinggi dari perkiraan di tahun 2021. Hal ini dilihat dari beberapa lembaga internasional yang merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi 2021.
Seperti diketahui, IMF merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi global dari 5,2% menjadi 5,5%. Demikian halnya pertumbuhan ekonomi AS yang direvisi dari 3,1% menjadi 5,1%. Kemudian OECD juga merevisi pertumbuhan ekonomi global dari 4,2% menjadi 5,6% serta pertumbuhan ekonomi AS dari 3,2% menjadi 6,5%.
“Kita lihat bersama bahwa secara global tumbuh lebih tinggi dan khususny AS ini penting ada revisi yang signifikan dan ini tentunya merupakan suatu peluang bagi kita dan perbaikan ekonomi dunia terutama di AS,” ujar Sugeng dalam sambutannya pada Pelatihan Wartawan Ekonomi BI Triwulan I 2021 secara virtual di Jakarta, Kamis (25/3/2021).
Menurutnya, perbaikan ekonomi global dan AS pasca vaksinasi memberikan bagi Indonesia untuk memacu pertumbuhan ekspor yang lebih tinggi. “Saat ini ekspor menggeliat terutama ke AS dan ini kesempatan yang bagus untuk bagaimana dorong ekspor kita ke AS teurtama produk manufaktur Indonesia,” katanya.
Oleh sebab itu, untuk menangkap peluang tersebut, BI bersama pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan bertemu dengan pengusaha dan perbankan untuk membahas peningkatan kredit dan pembiayaan serta aktivitas usaha termasuk ekspor di sektor prioritas seperti kategori sektor bedaya tahan, sektor pertumbuhan ekonomi, dan penopang pemulihan ekonomi.
“Langkah sinergi yang terus dilakukan tersebut, BI yakini bahwa ekonomi di Indonesia di 2021 akan membaik dan positif di kisaran 4,3% sampai 5,3%,” kata dia
Di area moneter, jelas Deputi Gubernur BI Sugeng, sejak 2020 Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga kebijakan hingga sebesar 150 basis poin (bps). Dengan upaya tersebut, maka level suku bunga acuan BI-7 Days Reverse Repo Rate saat ini sebesar 3,50 persen dan menjadi level terendah sepanjang sejarah.
Sejak 2020, lanjutnya, Bank Indonesia juga telah menambah likuiditas atau menempuh kebijakan quantitative easing di perbankan sebesar Rp776,87 triliun. Jumlah ini ini setara dengan 5,03 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
“Sejalan dengan hal tersebut, sinergi ekspansi moneter BI dengan akselerasi stimulus fiskal pemerintah terus diperkuat dengan peran BI sebagai standby buyer pembelian SBN (Surat Berharga Negara) di pasar perdana,” ungkap dia.
Di sisi lain, bank sentral mampu mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah. Tak sampai di situ, Bank Indonesia akan senantiasa memperkuat kebijakan nilai tukar rupiah dengan tetap berada di pasar melalui kebijakan triple intervention guna menjaga stabilitas nilai tukar yang sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar.
Di area makroprudensial, kebijakan-kebijakan akomodatif BI diarahkan untuk mengakselerasi pertumbuhan kredit dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Kebijakan tersebut adalah pelonggaran ketentuan uang muka kredit atau pembiayaan bermotor menjadi paling sedikit nol persen untuk semua jenis kendaraan motor baru.
“Kemudian juga pelonggaran rasio LTV/FTV kredit pembiayaan properti menjadi paling tinggi 100 persen untuk semua jenis properti, baik rumah tapak, rumah susun, serta ruko/rukan, bagi bank yang memenuhi kriteria. Kebijakan lain adalah menghapus ketentuan pencairan bertahap pada properti inden,” paparnya.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Maret 2021, Bank Indonesia menambah beberapa kebijakan makroprudensial yang akomodatif. Hal ini bertujuan untuk mengakselerasi pertumbuhan kredit dunia usaha, khususnya terkait dengan ekspor.
Kebijakan tersebut adalah memperluas cakupan formula perhitungan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM/RIM Syariah) dengan menambah wesel ekspor sebagai komponen pembiayaan, serta memberlakukan secara bertahap ketentuan disinsentif berupa Giro RIM/RIMS untuk mendorong penyaluran kredit perbankan kepada dunia usaha dan ekspor guna mengakselerasi pemulihan ekonomi.
“Bank Indonesia juga memperkuat transparansi SBDK (Suku Bunga Dasar Kredit) perbankan secara lebih rinci, serta berkoordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk mendukung percepatan transmisi kebijakan moneter, yaitu berupa penurunan suku bunga kredit,” urai Sugeng.
Untuk sistem pembayaran, kebijakan-kebijakan Bank Indonesia juga senantiasa diarahkan untuk memfasilitasi pemulihan ekonomi nasional melalui percepatan digitalisasi sektor ekonomi dan keuangan, serta mendorong efisiensi melalui penurunan biaya transaksi sistem pembayaran.
BI mendorong akselerasi ekonomi keuangan digital melalui percepatan implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 dengan lima inisiatif utama, yaitu open banking; sistem pembayaran ritel; infrastruktur pasar keuangan; data; serta pengaturan, perizinan, dan pengawasan.
“Terlebih di situasi pandemi seperti saat ini, digitalisasi menjadi semakin relevan dan memang sangat diperlukan. Transaksi ekonomi dan keuangan digital terus tumbuh tinggi sejalan dengan meningkatnya akseptasi dan preferensi masyarakat untuk berbelanja daring serta meluasnya pembayaran digital dan akselerasi digital banking. Hal ini terlihat jelas dari transaksi uang elektronik yang tumbuh cukup tinggi 27 persen dan transaksi digital banking yang tumbuh sebesar 23 persen,” ucapnya.
Untuk semakin mendorong transaksi ekonomi dan keuangan digital, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan sejumlah insentif dan relaksasi pricing pada berbagai instrumen dan kanal transaksi nontunai. Salah satunya menetapkan Merchant Discount Rate (MDR) QRIS nol persen untuk sektor mikro yang diharapkan dapat mendorong sektor UMKM.
“Kemudian juga menurunkan caping biaya transaksi BI-RTGS (Bank Indonesia Real Time Gross Settlement), SKNBI (Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia), dan menurunkan bunga biaya-biaya kartu kredit,” tambah Sugeng.
Dengan sederet kebijakan tersebut, Indonesia berhasil menekan dampak pandemi dan mengalami perbaikan ekonomi dari kuartal ke kuartal. Bahkan, pemulihan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 lebih baik dibandingkan sejumlah negara tetangga lainnya.
“Alhamdulillah dengan langkah-langkah sinergi yang dilakukan pemerintah bersama Bank Indonesia serta otoritas terkait, ekonomi kita terus mengalami perbaikan dari kuartal ke kuartal. Kalau dibandingkan dengan negara tetangga kita, kontraksi yang dialami Indonesia lebih kecil dari Thailand yang mengalami kontraksi 4,2 persen, Malaysia 3,4 persen, dan Singapura 2,4 persen,” papar Sugeng. Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Riza Tyas Utami menegaskan, Indonesia tahun ini tidak akan masuk dalam kondisi taper tantrum atau pembalikan kebijakan moneter global seperti yang terjadi pada 2013 silam. BI pun mengaku siap menghadapi gejolak ekonomi tak terduga di kemudian hari.
“Kita harus ingat, kondisi pada saat tahun 2013 dengan kondisi sekarang jauh lebih beda. Secara keseluruhan, kita sudah siap dengan kemungkinan yang bakal terjadi bahkan sebelum Covid-19” ujar dia.
Sebelumnya pasar sempat tegang dan mencemaskan apabila The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral Amerika Serikat (AS) akan menaikkan suku bunga, sehingga berpengaruh negatif terhadap pergerakan ekonomi global di tengah pandemi Covid-19. Banyak pengamat memperkirakan akan terjadi keluarnya arus modal (capital outflow) secara besar-besaran akibat hal tersebut.
“Indonesia tak perlu takut akan risiko asing berbondong-bondong keluar dari pasar keuangan indonesia. Namun, bila sampai itu terjadi, BI sudah memiliki beragam strategi yang bisa meredam gejolak tersebut. BI selalu ada di pasar, tidak hanya pasar spot, tapi kita punya tiga tools,” tegas Riza.
Pertama, BI akan melakukan intervensi. Tak hanya satu, tetapi BI memiliki 3 intervensi (triple intervention), yaitu di pasar spot, pasar Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), juga intervensi di pasar sekunder Surat Berharga Negara (SBN).
Namun, kapan triple intervention ini dilakukan? Tentu harus menggunakan strategi operasional yang matang dan dengan melihat kondisi pergerakan pasar.
Kedua, adanya koordinasi yang membuat Sistem Stabilitas Keuangan (SSK) yang lebih tangguh. Koordinasi antara bank sentral ini dilakukan dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maupun otoritas lain yang terkait.
“Kita sudah siapkan. Sehingga kalau sudah ada persiapan, maka SSK domestik juga akan terjaga lebih kuat,” tambah Riza.
Ketiga, BI memiliki kerja sama internasional yang diperluas. Salah satunya, adalah kerja sama transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung atau local currency settlement (LCS) dengan beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan sedang dalam proses penjajakan dengan China.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Yanti Setiawan mengaku bahwa BI sangat ‘gemas’ karena perbankan belum juga menurunkan suku bunga dasar kredit (SBDK) mengikuti suku bunga acuan (BI 7 Day Reverse Repo Rate).
Padahal bank sentral telah menurunkan suku bunga 125 bps dari selama satu tahun terakhir. Diikuti penurunan SB deposito sebesar 189 bps, namun SBDK hanya turun sebesar 78 bps pada periode yang sama.
“Kami juga sama-sama gemas,” seru Yanti.
Dia mengatakan BI sudah secara rutin mempublikasi asesmen transmisi suku bunga kebijakan kepada SBDK Perbankan. Ini bertujuan untuk mendukung percepatan transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial Bank Indonesia serta memperluas diseminasi informasi kepada konsumen, baik korporasi maupun individu, guna meningkatkan tata kelola, disiplin pasar dan kompetisi di pasar kredit perbankan.
“Tetapi memang kami lihat publikasi itu sendiri memang belum sepenuhnya membentuk pola perilaku suku bunga di perbankan secara lebih efektif,” ungkap Yanti.
Berdasarkan komponen SBDK, kata dia, terlihat bahwa peningkatan justru terjadi pada margin keuntungan. Hal ini mengindikasikan adanya upaya bank menahan potensi penurunan kinerja profitabilitas sebagai dampak dari menurunnya fungsi intermediasi akibat pelemahan ekonomi
Ini menyebabkan pertumbuhan kredit mengalami kontraksi di level -2,05% (yoy) pada Februari 2021, kata Yanti. Meski demikian, angka ini mulai membaik dibanding Desember 2020 di -2,41%.
Hingga Februari 2021, perbaikan pertumbuhan kredit ditopang kredit BUMN yang tumbuh positif 1,74% (yoy) dengan pangsa 44,74%. Selain itu pertumbuhan kredit BPD juga tumbuh positif sebesar 5,67% (yoy).
Sayangnya perbaikan tersebut masih terganjal kredit bank umum swasta nasional (BUSN) yang minus 5% (yoy). Begitu juga dengan penyaluran kredit dari kantor cabang bank asing (KCBA) yang terkontraksi 25,21%.(budi nugraha/69).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *