Klarifikasi Untuk Keluarga Bapak Edhi Sunarso.

Oleh Dimas Martosuwito.

JAKARTA, Suaramerdekajkt.com
Tulisan saya tentang “Gubernur Termiskin vs Mall Milik Orang Terkaya” yang saya posting di sini pada  24 Januari 2021 lalu,  mendapat tanggapan dari keluarga seniman pematung bapak almarhum Edhi Sunarso. Tulisan itu ternyata beredar di media sosial, selain di FB juga di berbagai Whatsapp Grup.

Selengkapnya respon dari keluarga pak Edhi Sunarso adalah sebagai berikut:

Assalamualaikum Wr. Wb.
 
Dalam kesempatan ini, perkenankan kami, putra putri almarhum Bapak Edhi Sunarso, pematung yang memimpin pembangunan Monumen _Selamat Datang_ Jakarta menyampaikan tanggapan dan klarifikasi tentang tulisan yang diposting sdr. Supriyanto Martosuwito di laman media sosial Facebook, tertanggal 24 Januari 2021. Tulisan ini kemudian diunggah berkali-kali di banyak Whatsapp personal maupun grup, hingga sampai kepada kami.
 
Pada tulisan Sdr. Martosuwito tersebut dituliskan bahwa Edhi Sunarso teman Henk Ngantung di Lekra. Tepatnya pada alenia 31, kalimat kedua.
 
Pernyataan ini mengandung interpretasi yang salah, dan terkesan mendeskreditkan bahwa Edhi Sunarso adalah anggota Lekra. Padahal Edhi Sunarso bukan anggota Lekra dan pertemanannya dengan Henk sebatas
sesama seniman maupun pecinta seni.
 
Edhi Sunarso adalah seorang pejuang kemerdekaan yang menjadi pematung, seperti yang telah ditulis dalam buku “EDHI SUNARSO: Seniman Pejuang” (yang dieditori oleh Mikke Susanto) dan buku lain yang bertajuk “Meniti Jalan Pembebasan sebuah Otobiografi”. Beliau adalah pejuang dan anggota Veteran Republik Indonesia (bukti terlampir).
 
Almarhum Edhi bertemu dengan presiden pertama RI Ir. Sukarno
saat berkunjung ke Semarang, pada saat peresmian Tugu Muda Semarang thn 1953 (bukti terlampir). Kebetulan saat ini Bapak adalah salah satu perupa yang ikut membuat relief di Tugu Muda Semarang bersama Hendra Gunawan dan kawan-kawan kelompok Pelukis Rakjat.
 
Demikian tanggapan dan klarifikasi kami, mohon menjadi perhatian dan kehati-hatian bagi para penulis.
 
Kami meminta bagi pihak penulis yang bersangkutan untuk menulis permintaan maaf terkait hal tersebut di media sosial maupun media konvensional secara terbuka.
 
Wasalamualaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 27 Januari 2021
Titiana Irawani
a.n. Putra Putri Edhi Sunarso

BERIKUT jawaban saya selaku penulis :

Kepada Yang Terhormat
Ibu Titiana Irawani
a. n.  Putra Putri Edhi Sunarso.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Saya menulis sosok bapak Henk Ngantung dan bapak Edhi Sunarso di dinding facebook saya dengan rasa hormat. Dalam rangka meluruskan sejarah. Menghadirkan kembali sosok beliau kepada “generasi facebook” tentang seniman seniman besar yang membuat karya monumental dan masih tegak berdiri hingga kini.

Tidak ada niat sedikit pun mendiskreditkan beliau.

Saya juga tidak melihat tanggapan dan penafsiran keliru dari pembaca postingan saya,  sebagaimana dikhawatifkan anak anak dan cucu Bapak Edhi Sunarso.

Komentar di wall saya atas tulisan itu juga tidak ada yang mendeskreditkan atau kesan negatif  kepada bapak Henk Ngantung maupun Pak Edhi Sunarso.  Bahkan, sebaliknya,  menyayangkan kurangnya penghargaan pemerintah pada mereka.

Namun jika tulisan saya merasa membuat keluarga almarhum tidak nyaman,  dengan ini saya meminta maaf kepada anak cucu keluarga bapak Sunarso.

Narasumber tulisan saya adalah Bapak KP Hardi Danuwijoyo yang populer dengan sebutan “Pelukis Hardi”,  tokoh pencetus Generasi Senirupa Baru,  Ketua HIPTA (Himpunan Pelukis Jakarta),  murid dari Pak Edhi Sunarso sendiri di ASRI – Akademi Senirupa Indonesia di Yogyakarta.

Sumber lain tulisan saya adalah catatan para kritikus seni senior seperti Agus Dermawan T dan bunga rampai tulisan Bambang Bujono (‘Melampaui Citra dan Ingatan’ – 2017) serta buku buku memoar seniman,  seperti bapak Sudjojono.

Selain itu juga kliping media dan tulisan di media sosial dan laman internet lainnya.

Bapak Edhi Sutrisno adalah anggota Kelompok Pelukis Rakyat sebagaimana tercatat dalam buku “Diksi Rupa” (Mikke Susanto, 2011),  yang kemudian dikutip di Wikipedia.

Tafsir yang disampaikan Pak KP Hardi kepada saya “Pelukis Rakyat ya Lekra”.

Sejarah seni Indonesia yang saya pelajari,  di era 1950 -1965 – mengungkapkan adanya pengelompokan seniman  dalam tiga  besar sesuai aliran politik pada masanya yaitu :

(1). Kelompok  Seniman Rakyat yang beraliran “Realisme Sosialis”
(2). Kelompok Seniman Humanis dan Universal yang beraliran “seni untuk seni” dan (3). Kelompok Seniman Agamis  sebagaimana yang tergabung Lesbumi NU,  seniman Kristen dan Katolik.

Seniman yang dekat dengan Bung Karno adalah seniman yang berorientasi kerakyatan.  Beraliran Realisme Sosialis. Antara lain,  Trubus, Henk Ngantung,   Edhi Sunarso, dll.

Nama Edhi Sunarso masuk dalam daftar Kelompok Pelukis Rakyat – sebagaimana tertulis di Wikipedia – adalah perkumpulan pelukis yang didirikan oleh Hendra Gunawan dan Affandi, setelah mereka berdua keluar dari keanggotaan Seniman Indonesia Muda pada tahun 1947 karena merasa tak sejalan dengan metode pembinaan Sudjojono yang cenderung dogmatis.

Kelompok Pelukis Rakyat beranggotakan : Hendra Gunawan, Trubus, Rustamadji, C.J. Ali Marhaban, Sajono, Edhi Sunarso, Affandi, Soedarso, Setjojoso, Abas Alibasyah, Fadjar Sidik, Kusnadi, Nasir Bondan, Djoni Trisno, Soetopo, Permadi Lyosta, Chairul Bahri, Yuski Hakim, Martian Sagara, Trisno Sjawal, A. Rahmat (Samson), Ramli, Batara Lubis, Itji Tarmizi, Kristofer Latuputi, Asmun, dan Sahit.

Saya, Supriyanto Martosuwito – dengan nama pena Dimas Supriyanto –  adalah wartawan peliput seni budaya era 1980-1990 yang ngepos di Balai Budaya dan TIM serta GKJ. Selain Dewan Film.

Saya melewati masa booming lukisan meliput pameran pameran seniman lagendaris seperti Affandi,  R. Basoeki Abdullah.

Saya hadir dan menjadi salahsatu saksi sejarah dan peristiwa di Pasar Seni Ancol yang mempertemukan Sudjojono,  Affandi dan R. Basoeki Abdullah yang berbeda kubu pada masa jayanya. Pertemuan dinisiasi oleh Ir.  Ciputra pengelola Taman Impian Jaya Ancol.

Saya sempat wawancara dengan bapak Affandi, pak Abas Alibasyah, Fadjar Sidik, Marah Djibal,  dan nama nama besar lain yang biasa pameran di Balai Budaya dan TIM.

Saya ketahui kemudian mereka, sebagian dari seniman yang saya lukis itu adalah nama nama seniman kiri,  sebagiannya mantan Lekra.  Namun pada masa Orde Baru itu tak bisa diungkapkan karena politik.

Oleh trauma sejarah para seniman kiri dibungkam oleh rezim Orde Baru. Termasuk pencipta patung relief Sarinah. Bahkan orang orang yang tahu selama 54 tahun membungkam diri.

Lalu Orde Baru tumbang,  Suharto sudah tiada. Politik represi terhadap orang kiri berakhir –  berganti dengan zaman reformasi.  Tak ada lagi pembungkaman sejarah.

Para seniman Lekra yang masih hidup kini muncul kembali –  bahkan bangga dengan karyanya seperti Joko Pekik dengan lukisan  legendanya “Berburu Celeng” yang konon terjual hingga Rp.1 miliar. Karya lukisan Hendra Gunawan (seniman Lekra yang dipenjara selama 12 tahun)  dipatungkan di depan Mall Ciputra, Jakarta.

Sebagai jurnalis dan peliput seni,  saya mendapat panggilan untuk ikut meluruskan sejarah. Dengan cara menulis di facebook ini.

Saya meyakini,  bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai pahlawannya. Melainkan juga bangsa yang menghargai para senimannya.  Terutama seniman besarnya.

Pak Edhi Sunarso (1932 – 2016)  adalah Seniman Besar, Maestro, yang telah meninggalkan karya karya monumental yakni patung ‘Selamat Datang’ di Bunderan Hotel Indonesia, patung ‘Pembebasan Irian Barat’ di Lapangan Banteng,  ‘Patung Dirgantara’ di Pancoran,  relief diaroma di Monas, berlanjut dengan Monumen Pancasila di Lubang Buaya pada zaman Orde Baru, dll.

Namun, sekali lagi,  jika tulisan saya membuat keluarga almarhum merasa  tidak nyaman,  dengan ini saya meminta maaf kepada anak cucu keluarga besar bapak Edhi Sunarso.

Wasalamualaikum Wr. Wb. Jakarta,  29 Januari 2021. Supriyanto Martosuwito/. aka.  Dimas Supriyanto. (Bb-69).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *