Pernyataan Mendikbud Tidak Jauh Berbeda dengan Aturan Kenakan Jilbab Itu Sendiri

Pemerhati Pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji (SMJkt/Prajtna Lydiasari)

 

JAKARTA, Suaramerdekajkt.com – Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim dalam bentuk video mengenai kasus peraturan wajib mengenakan jilbab di SMKN 2 Padang mendapatkan apresiasi dari masyarakat umum namun mendapatkan reaksi miring dari para insan pendidikan. Hal ini disebabkan karena Mendikbud menyampaikan pernyataan bernada mengancam.

“Saya meminta pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku segera memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan,” kata Mendikbud dalam bentuk video di Jakarta.

Pemerhati Pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji menyampaikan bahwa pernyataan Mendikbud tersebut sama persis kondisinya dengan aturan kewajiban berhijab di Padang itu sendiri.

“Yang Mendikbud sampaikan ini bener tapi belum bener atau maksudnya benar tetapi kurang bijaksana,” ujar Indra Charismiadji melalui keterangan tertulis, Selasa (26/1).

Indra menambahkan bahwa apa yang disampaikan oleh Mendikbud tidak jauh berbeda dengan aturan mengenakan jilbab itu sendiri, tujuannya baik tapi sangat tidak bijaksana untuk mewajibkan bagi seluruh siswi termasuk non muslim sangatlah tidak bijak dan bahkan melanggar hak asasi manusia.

“Jika Mendikbud meminta para pendidik di SMKN 2 Padang dibebastugaskan karena mereka mengikuti aturan kepala daerah, sangatlah juga tidak bijak. Ini menyangkut nasib dan karir seseorang,” tuturnya.

Indra berpendapat bahwa hal ini terjadi akibat Mendikbud ini walau sudah lebih dari satu tahun memimpin Kemendikbud tetapi belum memahami kondisi dunia pendidikan Indonesia.

“Untuk yang kedua kalinya saya mengatakan bahwa Mendikbud kita ini germaphobe alias orang yang takut kuman di era pandemi. Makanya ia benar-benar menerapkan protokol kesehatan 3M yakni menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan,” pungkasnya.

Artinya, Mendikbud menjaga jarak dari para guru, kepala sekolah, dan insan pendidikan. Mendikbud juga memilih untuk menggunakan masker besi sehingga tidak ada percakapan, dialog, diskusi dengan pemangku kepentingan pendidikan. Ia juga lebih banyak mencuci tangan untuk masalah-masalah pendidikan yang ada di tanah air. Ini protokol kesehatan yang kebablasan.

Dalam kasus SMKN 2 Padang ini, jika Mendikbud tidak menjaga jarak maka beliau seharusnya tahu bahwa para pendidik ini hanya menjalankan Instruksi Wali Kota Padang nomor 451.442/BINSOS-iii/2005 dan telah berjalan selama 15 tahun.

“Ini bukan sepenuhnya kesalahan para pendidik yang menjalankan instruksi pemimpinnya yaitu Kepala Daerah. Alih-alih melindungi para pendidik, Mendikbud justru memilih untuk mendorong adanya sanksi yang berat,” ungkapnya.

Komunikasi yang selama ini dilakukan oleh Mendikbud harus diakui memang sangat buruk. Indikatornya bisa dilihat dari komunikasi dengan media massa. Para pemburu berita yang memang tugasnya mencari berita sangat kesulitan dalam mendapatkan pernyataan Mendikbud, bahkan yang namanya konferensi media hampir tidak pernah diadakan, semua sebatas taklimat media yang artinya hanya informasi satu arah dan tidak ada dialog atau percakapan.

“Jika dengan mereka yang tugasnya mencari berita saja sulit berkomunikasi, bisa dibayangkan komunikasi model apa yang terjalin dengan para guru, kepala sekolah, siswa, mahasiswa, dosen, dinas pendidikan, dan semua pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Mungkin ia lupa kalau posisinya adalah seorang pejabat publik yang harusnya memberikan informasi kepada publik sejelas-jelasnya tanpa menggunakan masker besi,” imbuhnya.

Kasus di SMKN 2 Padang membuktikan kalau tidak ada keinginan dari Mendikbud untuk berdialog, menyelidiki dulu secara mendalam, tetapi memilih untuk menjadi hakim. Suatu hal yang ironis karena pendidikan baru dapat berjalan dengan baik jika ada dialog, ada percakapan satu dengan yang lainnya.

“Mendikbud juga memiliki kecenderungan untuk cuci tangan masalah pendidikan. Jika memang peduli dengan kasus intoleransi mengapa hanya kasus yang viral secara nasional yang ditanggapi. Bagaimana dengan kasus di SMAN 58 Jakarta dimana ada guru yang mengarahkan untuk memililh Ketua OSIS berdasarkan agamanya, atau di SD Inpres 22 Wosi Manokwari dimana ada anak yang dilarang mengenakan jilbab. Semua itu berada dimasa kepemimpinan Mendikbud Nadiem Makarim,” bebernya.

Indra mengatakan upaya untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia dengan menciptakan ekosistem yang kondusif, stabil, bermoral, dan demokratis harusnya menjadi langkah nyata Mendikbud dibandingkan sekedar melempar urusan ke pemerintah daerah dengan segala resikonya dan membuat pernyataan yang provokatif.

“Satu hal lagi yang mesti dipahami walaupun usianya muda, sebagai Mendikbud harusnya ia memposisikan diri sebagai orang tua dari seluruh insan pendidikan Indonesia yang harusnya lebih membimbing dan mengayomi bukan mengintimidasi,” terangnya.

Seharusnya, lanjut Indra, ia bisa menunjukkan posisinya sebagai pemimpin untuk minta maaf kepada siswa dan orang tua yang merasa dipaksa menggunakan jilbab, tetapi dengan para pendidik di Padang harusnya ada dialog internal. Sementara itu dalam rapat kabinet, kasus ini bisa diselesaikan bersama dengan Mendagri, Menag, dan Menkopolhukam karena sudah menyangkut Instruksi Kepala Daerah.

“Mas Menteri, kami ini anak-anakmu. Jangan jadikan kami musuhmu. Tapi pimpin, bimbing, dan ayomi kami agar tercapai tujuan Indonesia yang maju,” tutupnya (nya/69)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *