Doa untuk Negeri; Mengurai Doa Dengan Rupa.

Oleh Rain Rosidi.

JAKARTA, Suaramerdekajkt.com
LAZIMNYA berdoa itu menggunakan rapalan katakata. Dalam tradisi agama, doa adalah sarana utama untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Umat beragama mengungkapkan harapan-harapannya melalui rangkaian kata-kata, baik yang diucapkan maupun dituliskan.

Doa pada umumnya menggunakan bahasa tertentu, baik bahasa yang digunakan sehari-hari maupun bahasa asal dari ajaran agama yang dianut, atau pun rapalan berima dan ninnakna semacam mantra.

Dalam ajaran Hindu dikenal konsep mantra, yantra, dan tantra. Simpelnya, mantra adalah doa yang terucapkan melalui bahasa (kata, kalimat, teks), yantra melalui simbol yang dirupakan, dan tantra melalui tindakan.

Ketiganya dilakukan sebagai semacam doa, aktivitas yang secara umum berhubungan dengan kehendak manusia untuk berhubungan dengan yang Maha Kuasa dan pancaran nilai-nilainya terhadap lingkungan dan kemanusiaan. Dalam agama yang lain pun ditemukan praktik-praktik yang menggunakan media bukan verbal (kata-kata) sebagai ekspresi doa.

Tema pameran seni rupa ini adalah “Doa untuk Negeri”, yang diajukan kepada seniman untuk ‘disekutukan’ dalam sebuah pameran bersama. Beberapa seniman tersebut serta-merta merespons dengan karya-karya mereka, yang kebanyakan merupakan karya baru yang khusus dibuat untuk pameran ini.

Tentunya pengertian doa ditafsir secara bebas oleh seniman seturut dengan gaya pengucapan perupaan masing-masing.

Ketika seniman berkarya dia biasanya membayangkan karyanya suatu ketika akan terpajang dan dinikmati oleh orang lain.

Jadi, baik itu seniman melukis dalam kesunyian studio atau dalam keriuhan proses berkarya yang memerlukan tim, atau melalui proses yang membutuhkan tahapan-tahapan tertentu semacam printmaking dan batik, si seniman sudah mengarahkan karyanya akan berkomunikasi dengan cara tertentu dengan pihak lain.

Seniman juga sudah mempersiapkan bahwa jejak karyanya akan dibiarkan tetap, abadi, dan berkembang menjadi perbincangan.

Dari pameran ini, seniman telah pula membayangkan doanya akan dipampangkan sebagai bagian dari sajian kepada publik. Keragaman doa dalam bentuk rupa tergambarkan dari apa yang dilakukan oleh para seniman dalam pameran ini.

Doa bagi mereka bisa menjadi bagian dari ekspresi keyakinan melalui simbol-simbol yang diyakini komunitasnya, bisa pula menjadi sangat personal, sebagai ungkapan pengalaman batin yang tekadang tak beda jauh dari ekspresi seni yang biasa mereka lakukan. Toh, seni bagi sebagian seniman juga tak beda jauh dari praktik spiritual.

Seniman yang ikut serta dalam pameran ini dari berlapis generasi, dari berbagai latar budaya, agama, dan identitas lainnya. Demikian pula dengan gaya pengucapan, dari realis, simbolik, hingga abstrak. Dari berbagai gaya pengucapan itu, apa yang hendak ditautkan seniman dengan doa menjadi bermacam pula bentuk tafsirannya.

Kalau ‘doa’ dihubungkan dengan ‘negeri’ seperti dalam judul pameran (“Doa untuk Negeri”), biasanya istilah ‘negeri’ akan ditautkan dengan keprihatinan atau harapan terhadap situasi sosial, politik, dan budaya Indonesia saat ini.

‘Doa untuk Negeri’ tidak akan mudah dilepaskan dari polarisasi sosial yang terjadi saat politik Rl memanas menjelang pilpres 2019 hingga hari ini dengan polarisasi di bidang budaya, politik, dan tafsir keagamaan.

Media sosial dalam berbagai studi membantu membentuk polarisasi-polarisasi itu dengan bahasa algoritmanya yang mengarahkan publik untuk makin dalam memasuki “dunia yang ingin dilihatnya”, hingga membentuk cara pandangnya terhadap kenyataan.

Polarisasi yang terbentuk itu menciptakan fanatisme-fanatisme baru yang dalam ruang publik menjadi benturan-benturan konflik. Kata ‘negeri’ akan dihubungkan dengan mudah dalam peran sosial masyarakat dengan warga negara.

Uniknya beberapa seniman menawarkan harapan atau doa untuk negeri yang dalam situasi terpolarisasi itu dengan kembali pada kearifan lokal terutama kebudayaan Jawa (dan Bali).

Ekspresi-ekspresi tersebut nampak pada karya Nyoman Sujana ‘Kenyem’, Cipto Purnomo, Nurfu Ad, Agus Merapi, dan Ken Nar. Realitas sosial politik juga direspons dengan ekspresi doa rupa yang berhubungan dengan relasi warga dan negara.

Seperti bagaimana kebijakan dibuat, bagaimana kondisi masyarakat dalam proses pembangunan, bagaimana pembangunan berdampak pada lingkungan alam, dan sebagainya. Karya-karya yang demikian nampak pada karya Yogi Setyawan, Aly Waffa, Arie Kadarisman, Syis Paindow, dan Wahudi.

Demikian pula dalam bidang lain, kata ‘doa’ dan ‘negeri’ akan terhubung pula pada situasi yang lebih terkini’, dan global, yaitu pandemi.

Hampir semua negara mengalami, namun keterhubungan kita dengan pandemi ini di zaman modern tidak bisa dilepaskan dari peran negara dan gagasan mengenai negeri pada umumnya. Sebagai manusia, seniman juga bagian dari lingkungan sosialnya, dengan peran-peran yang menubuh dalam dirinya sebagai warga negara, umat agama, anggota masyarakat, dan keluarga.

Namun keterkaitan dengan sosial budaya tersebut juga ditautkan dengan keterhubungan manusia dengan semesta, seperti karya Lucia Hanini, M. Aidi Yupri, Chrysnanda Dwilaksana, Victorya Christiani, Deni Indra, Pega Gunawan, Joetex AF, dan Bob Ticko.

Doa sebagai ekspresi personal yang berhubungan dengan problem kedirian diungkap dalam karya Ugo Untoro, David Rivaldo, Deddy PAW, Dipo Andy, Yoga Budhi Wantoro, Utin Rini, dan Sigid W. Mereka mengungkapkan tentang kebebasan, keseimbangan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Para seniman yang menampilkan bentuk-bentuk pengucapan realis menggunakannya dengan beragam juga. Beberapa menggunakannya secara simbolik untuk menggambarkan nilai-nilai kearifan, filsafat, relijiusitas, dan spiritualitas. Di antaranya seperti Agus Merapi dengan falsafah Jawa dan kearifan Merapi, Cipto Purnomo dengan penggambaran kekuatan dari kearifan leluhur, Lucia Hartini dengan kearifan simbolik, dan Deddy PAW, simbolik, kearifan, dengan pesan moral.

Pengucapan realis juga digunakan untuk menyampaikan pesan atau harapan, seperti karya Yoga Budhi Wantoro, Wahudi, Arie Kadarisman, Aly Waffa, Nurfu Ad, M. Aidi Yupri, dan Nyoman Sujana ‘Kenyem’.

Doa yang ditafsir sebagai laku dalam melukis, tampak dalam karya Dipo Andy, Utin Rini, Chryshnanda Dwilaksana, Victorya, David Rivaldo dan termasuk Ugo Untoro. Karya Ugo Untoro menggunakan doa dalam bentuknya yang berupa kata-kata. Kata-kata dalam bahasa Ugo bukan hanya kata yang diucapkan, tetapi juga tulisan tangan yang termaktub dalam sebuah buku.

Para seniman ini mengurai doa melalui bentuk visual. Mereka berdoa, menyapa Tuhan dan sesama tidak melalui sarana bahasa verbal, tetapi visual. Doa tidak dialihkan dalam kode bahasa terlebih dahulu, alih-alih divisualkan dalam bentuk karya rupa.

Pameran ini diselenggarakan di Padepokan Apel Watoe (PAW), hanya sekitar satu kilometer dari Candi Borobudur. PAW adalah sebuah bangunan yang meliputi studio seni, kafe, ruang pamer, dan sesekali menjadi ruang menginap untuk para seniman, yang dikelola oleh seniman Deddy PAW.

Rumah yang unik tersebut selain menyimpan dan menampilkan karyakarya sang pemilik, juga didedikasikan untuk memajang karya-karya seniman lain, sebagaimana yang terjadi dalam pameran ini.

Sebagai seniman, Deddy PAW juga aktif dalam membangun jejaring dan mengembangkan komunitas seni di Magelang. Harapannya, pameran ini dapat pula memperkuat jaringan seniman dengan pemerintah daerah, dan masyarakat Borobudur serta Magelang pada umumnya. (Benny Benke–69).

Rain Rosidi adalah seorang penulis, kurator dan pengajar seni rupa di  FSR-ISI Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *