JAKARTA, Suaramerdekajkt.com – Mulai tahun 2021, pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) tidak akan merekrut lagi guru pegawai negeri sipil (PNS). Namun, jika keputusan tersebut bersifat permanen, dimulai 2021 sampai tahun-tahun berikutnya negara tak lagi membuka rekrutmen guru PNS, di sini letak masalahnya.
Menurut Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, ada lima alasan pokok untuk menolak keputusan yang dirasa sangat tidak berkeadilan ini. Pertama, keputusan tersebut jelas-jelas melukai hati para guru honorer, calon guru yang sedang berkuliah di kampus keguruan atau disebut Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), dan orang tua mereka.
“Mengapa demikian? Sebab ratusan ribu mahasiswa LPTK bercita-cita menjadi guru PNS dalam rangka memperbaiki ekonomi keluarga, dan meningkatkan harkat martabat keluarga. Pemerintah jangan pura-pura tidak tahu, fakta tentang tingginya animo anak-anak bangsa menjadi guru PNS,” ujarnya.
Apalagi, lanjut Satriwan, para guru honorer, yang sudah mengabdi lama di sekolah, mendidik anak bangsa di seantero negeri. Mereka bermimpi menjadi guru PNS agar kesejahteraan hidupnya meningkat dan terjamin oleh negara.
“Keputusan ini akan memadamkan nyala api semangat guru honorer. Cita-cita mereka tak terlalu muluk-muluk, misalnya ingin jadi pejabat atau komisaris BUMN. Impian mereka sederhana, hanya menjadi guru PNS yang mengabdi untuk pendidikan nasional. Mengapa negara justru memupus harapan tersebut?,” tuturnya.
Kedua, keputusan ini berpotensi menyalahi UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam UU tersebut, dijelaskan bahwa ada dua macam kategori ASN, yakni PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Jika pemerintah pusat hanya membuka PPPK, maka bagaimana dengan status PNS.
“Sebab UU memerintahkan ada dua jenis ASN yang mengabdi kepada negara. P2G mempertanyakan, mengapa hanya profesi guru yang tidak dibuka rekrutmen PNS? Sedangkan profesi lain seperti dosen, analis kebijakan, dan dokter masih dibuka lowongan PNS-nya. Ini keputusan yang sangat tidak berkeadilan dan melukai para guru honorer dan calon guru,” terangnya.
Ketiga, selain berpotensi menyalahi UU ASN, P2G menilai ada dugaan kuat pemerintah pusat ingin lepas tanggung jawab dari kewajiban untuk mensejahterakan guru.
“Kita semua tahu, dimana-dimana guru PNS itu relatif lebih sejahtera ketimbang guru honorer. Mana ada guru PNS bergaji 500-800 ribu perbulan, seperti yang dialami guru honorer bertahun-tahun. Ya jelas saja, para guru honorer dan calon guru bermimpi menjadi PNS sebab kesejahteraan dan masa tuanya dijamin negara,” kata Kabid Advokasi Guru P2G, Iman Z. Haeri.
Iman menjelaskan bahwa, kedudukan dan formasi termasuk jaminan kesejahteraan guru PPPK ini belum jelas. Apalagi sifatnya kontrak dengan pemerintah. “Misalkan, guru PPPK dikontrak 4-5 tahun di sekolah di bawah satu Pemda. Setelah itu, ya mereka selesai kontraknya, di-PHK dan tidak dapat pensiunan dari negara,” jelas Iman yang merupakan guru honorer SMA.
Apalagi mengingat perlakuan negara dalam seleksi Guru PPPK juga diskriminatif. Lihat saja fakta seleksi PPPK tahun 2019, hingga sekarang guru honorer yang lulus seleksi PPPK belum kunjung dapat nomor induk pegawai (NIP) dan gaji dari negara. “Ada kekhawatiran ke depan nanti, perlakukan kepada guru PPPK masih akan sama,” imbuhnya.
Keempat, keputusan pemerintah ini bertolak belakang dengan kondisi kekurangan guru secara nasional yang tengah dialami Indonesia. Merujuk data Kemendikbud 2020, sampai 2024 Indonesia kekurangan guru PNS di sekolah negeri sampai 1,3 juta orang.
Kelima, keputusan ini akan menabung masalah atas kekurangan guru secara nasional. Sebab, kekurangan guru PNS tak akan bisa tertutupi sampai kapanpun, sebab guru PPPK ini, karena waktu pengabdiannya terbatas 5 tahun saja misalnya.
“Tidak sampai usia pensiun seperti guru PNS hingga 60 tahun dan ini berpotensi menganganggu keberlangsungan pendidikan nasional kita,” jelas Kabid Kajian Kebijakan Guru P2G, Agus Setiawan.
Agus yang merupakan guru Pendidikan Agama ini khawatir, jika kebijakan di Kementerian Agama juga akan sama. Padahal Menteri Agama, Gus Yaqut adalah orang tua bagi guru-guru agama dan madrasah se-Indonesia. Sedangkan Mendikbud, Nadiem Anwar Makarim adalah orang tua bagi guru sekolah umum se-Indonesia.
“Sangat disayangkan, jika dua kementerian ini justru tidak berpihak kepada guru dengan menyetujui kebijakan diskriminatif tersebut,” terangnya. (nya/69)