Sugeng Kondur Prof Mul.
Oleh Benny Benke.
JAKARTA, Suaramerdekajkt.com — Saya pernah “hanya” 24 jam menginap di hotel prodeo karena alasan politik. Bersama sejumlah kawan dari SMID dan kawan-kawan dari Timor Timur (sebelum menjadi Timor Leste). Di penjara bawah tanah pos Polisi di Sarinah. Sebelum digelandang di Polres Jakpus, Senen.
Penahanan kami berkenaan dengan rencana aksi “Lompat Pagar” ke Kedubes Prancis, yang berjarak sebenang dengan Sarinah. Dalam rangka menyuarakan referendum untuk Timor Timur (Timor Leste).
Berbeda dengan kawan-kawan kami seperti Petrus Hariyanto dan Akbar “Bebek” dll, yang sukses meloncak Kedubes Belanda, tepatnya pada tanggal 7 Desember 1995. Kami yang kebagian tugas politik di Kedubes Prancis, tertangkap terlebih dahulu, sebelum rencana dilunaskan.
Penangkapan inilah, yang nantinya menghantarkan kami dipanggil dan bertemu Prof Muladi. Rektor Undip kala itu, di Rektorat Undip, Jln Imam Bardjo, Semarang, saat kami sudah dibebaskan rezim, atas desakan IRC (International Red Cross), yang datang ke Jakarta.
Dan pagi ini, Prof. Dr. H. Muladi, S.H., mantan Rektor Undip, meninggal pukul 06.45 WIB. Mantan Gubernur Lemhannas, Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM) merangkap Menteri Sekretaris Negara pada masa Kabinet Reformasi Pembangunan, banyak memberikan kiat secara tak langsung, bagaimana menghadapi rezim saat itu.
Saat itu, Prof Mul — yang memanggil kami beberapa mahasiswa Undip yang tertangkap rezim — meminta kami bercerita kronologis penangkapan, sampai pembebasan kami.
“Aku dipekso Negoro mecat Kowe kabeh seko Undip. Kelang-kelangan ndog limo rapopo. Tapi tenang. Itu semua tidak akan kami lakukan,” kata Prof Mul saat itu, kepada kami lima mahasiswa Undip, yang telah dibebaskan rezim Orba. Prof Mul juga sekaligus mengabarkan kepada kami, bahwa nama kami telah masuk DPO orang-orang yang paling dicari di wilayah hukum Jateng.
Maka, mulai berceritalah saya, kronologis penangkapan kami di Kedubes Prancis, sependek ingatan saya, hingga ngapain saja selama 24 jam menjadi tahanan politik negara. Sebelum akhirnya dibebaskan, untuk kemudian melakukan aksi susulan, melakukan demo buruh di PT. Sritek, Solo. Yang juga digebuk tentara. Sebelum lolos ke Semarang, dan “menghadap” Prof Mul.
Dalam 24 jam itu, cerita saya kepada Prof Mul, saya harus mengisi berlembar-lembar pertanyaan dari aparat. Ihwal nama lengkap, tanggal lahir, nama orang tua kandung, ibu kandung, alamat rumah, jumlah saudara, nama saudara dan seterusnya.
Begitu jawaban yang ditulis tangan ini purna. Akan ada berlembar lembar kertas lainnya, yang draft pertanyaannya sama. Dan kita, lima mahasiswa Undip yang terjaring aparat saat hendak melompat di Kedubes Prancis, dalam rangka menuntut referendum di Timor Timur, harus melakukan prosesi yang sama: menjawab berlembar lembar pertanyaan yang sama.
Demikian seterusnya. Sepertinya aparat ingin mencari konsistensi jawaban kita. Bukan apakah jawaban kita benar atau salah. Yang penting konsistensi jawaban. Kalau di awal jawaban kita sudah berbohong, maka berbohonglah dengan konsisten untuk selamanya! Sekuatnya.
Pertanyaannya, sejauh dan sekuat apa manusia konsisten melakukan kebohongan? Begitu dia membangun dan menciptakan kebohongan, pada detik itu juga, dia harus bersiap menyusun arsitektur kebohongan lainnya. Sampai kebohongan itu benar-benar kokoh adanya. Laksana kebenaran saja, yang berdiri dengan natural, organik dan tak tergoyahkan.
Sekali kebohongan terlihat cacatnya, sedikit saja. Maka akan ambruklah arsitekturnya, dengan sangat cepatnya. Hanya orang-orang yang mempunyai keberanian dan teknik perkelahian yang luar biasa dalam kehidupan, yang mampu menciptakan dan membangun arsitektur kebohongan dengan nyaris sempurna.
Untungnya, saya menjawab dengan jujur-jujur saja. Ini sebentuk kebodohan sekaligus berkah. Karena, kata saya kepada Prof Mul, Polisi yang bergantian mengintrogasi saya, dan tahu ajeng jawaban saya, malah memberikan nasehat; “Kalian bukan kriminal..jadi tenang saja. Kalian hanya berbeda pandangan politik,” kata salah satu diantara mereka seperti hendak membesarkan hati kami.
Lalu giliran Prof Mul menasehati kami. “Mulai sekarang. Kalian tiarap dulu. Ngga usah demo-demoan dulu. Kasih tau konco-koncomu di (Fakultas) Sastra. Kalau sampai ketahuan kalian demo, aku ngga tanggung jawab,” kata Prof Mul. “Bukan begini cara berhadapan dengan kekuasaan,” imbuh Prof Mul tanpa melanjutkan apalagi memerikan kiat bersemuka dengan rezim.
Kami tahu, Prof Mul “hanya” Rektor. Yang saat itu pasti mendapatkan tekanan yang maha kuat dari kekuasaan. Untuk memecat kami, tapi memilih untuk tidak melunaskan pesanan rezim. Untuk itu kami berterima kasih kepada Prof Mul.
Sebagaiamana para orang tua kami, yang mendapatkan tekanan tak kalah maha dahsyat dari rezim.
“Bapak dipaksa meminta kamu keluar dari urusan politik. Atau bapakmu ini selesai sebagai PNS. Bapak ngga masalah ngga jadi PNS, kamu dipecat dari Undip dan bisa jadi supir taksi. Bapak juga ngga sedih kamu ditahan karena persoalan politik. Itu bukan kriminal. Tapi adik-adikmu siapa yang ngasih makan,” kata almarhum bapak saya. Yang kebetulan juga kakak kelas Prof Mul di Undip.
Almarhum bapak adalah mahasiswa angkatan pertama Undip. Dalam satu kesempatan, Prof Mul menyapa “Mas” kepada almarhum bapak saya, jika bersiborok nasib di jalan.
Kini Prof Mul sudah pulang ke rumah sebenarnya. Innalilahi wa innailaihi rojiun. Prof Mul saat kami bersilang nasib di Jakarta, masih ingat paras saya, dan menyapa,”Nang..piye kabarmu,” semoga diberi kelapangan jalan pulang…. Sugeng kundur Prof. Matur sembah nuwun. Sugeng tindak. Salim. Al Fatihah. (BB-69).