Dinasti Politik Jokowi, Salahkah?

 

 

Oleh: Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM

 

PILKADA 2020 telah melahirkan apa yang oleh orang disebut sebagai dinasti politik baru: Keluarga Presiden Joko Widodo!

Sang anak, Gibran Rakabuming Raka, terpilih menjadi Walikota Surakarta, Jawa Tengah. Sang menantu, Bobby Nasution, terpilih menjadi Walikota Medan, Sumatera Utara.

Jokowi pun ibarat baru lolos dari lubang jarum. Pasalnya, majunya Gibran dan Bobby merupakan pertaruhan besar baginya. Kalau sampai gagal terpilih, marwah politik Jokowi sebagai Presiden tentu akan jatuh.

Untuk Gibran memang tidak terlalu mengkhawatirkan, kendati di dalam politik apa pun bisa terjadi. Pasalnya, Solo dan Jawa Tengah pada umumnya adalah basis PDI Perjuangan, parpol yang mengusungnya.

Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa juga mewarisi reputasi bapaknya semasa menjabat Walikota Surakarta dua periode. Plus rivalnya, pasangan Bagyo Wahyono-FX Suparjo, yang banyak dikonotasikan sebagai calon “boneka”, meskipun akhirnya tak terbukti, karena beroleh suara signifikan.

Sebaliknya, Bobby yang berpasangan dengan Aulia Rahman amat mengkhawatirkan. Pasalnya, ia berhadapan dengan petahana Walikota Medan Akhyar Nasution, yang berpasangan dengan Salman Alfarisi.

Kedua, dalam dua kali pemilihan presiden, 2014 dan 2019, Jokowi selalu kalah di Kota Medan dan Sumut pada umumnya. Maka ketika Bobby dinyatakan menang dalam “quick count”, Jokowi seperti baru lolos dari lubang jarum.

Kini, setelah Gibran dan Bobby terpilih, lahirlah dinasti politik baru: bapak sebagai presiden, anak dan menantu sehagai walikota.

Sebenarnya jika Gibran dan Bobby gagal terpilih pun tak masalah. Sebab, saat mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajukan putra sulungnya sebagai calon gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, Agus Harimurti Yudhoyono pun gagal terpilih. Bedanya, saat ini Jokowi masih menjabat Presiden, sedangkan SBY pada 2017 lalu sudah tidak menjabat presiden. Jadi, SBY “nothing to lose”.

Dinasti politik atau politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.

Berangkat dari adagium Lord Acton (1834-1902), “The power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutly”, dinssti politik pernah dilarang dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang (UU) No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana. Namun, pada 8 Juli 2015 pasal tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dalih pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Jadi, secara hukum dinasti politik tidak dilarang di Indonesia.

Dalam Pilkada 2020 yang dilaksanakan serentak di 270 daerah di Indonesia, tercatat sebanyak 124 calon kepala daerah terpapar dinasti politik. Sebanyak 12 calon di antaranya unggul sementara.

Mereka merupakan istri, anak, atau kerabat dekat dari kepala daerah yang sedang atau pernah menjabat. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fenomena serupa dalam Pilkada 2015 -2018, yakni hanya 86 calon yang terpapar dinasti politik.

Bicara dinasti politik di Indonesia, sesungguhnya bukan Jokowi yang memulai. Sebelumnya sudah menjamur dinasti-dinasti politik. Sebut saja keluarga Ratu Atut di Banten, keluarga Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, keluarga Syaukani Hasan Rais di Kalimantan Timur, dan keluarga Zulkifli Hasan di Lampung dan Bengkulu. Hanya saja karena Jokowi seorang Presiden, maka dinasti politiknya kemudian lebih banyak mendapat sorotan.

Hanindhito Himawan Permana, putra Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, terpilih menjadi Bupati Kediri, Jawa Timur.

Ipuk Fiestiandani, istri Bupati Banyuwangi, Jatim, Abdullah Azwar Anas, terpilih menjadi bupati, menggantikan suaminya yang sudah menjabat dua periode.

Di legislatif, dinasti politik juga sudah terbentuk cukup lama. Putra-putri Amien Rais, mantan Ketua MPR dan mantan Ketua Umum PAN, semua menjadi anggota legislatif (DPR RI dan DPRD Provinsi DI Yogyakarta), namun belakamgan si sulung Hanafi Rais mundur dari DPR.

Ketua DPR Puan Maharani adalah putri dari Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden dan Ketua Umum PDIP. Putra bungsu SBY, Edhy Baskoro Yudhoyono alias Ibas, juga menjadi anggota DPR.

Di luar negeri, dinasti politik juga merupakan fenomena lumrah. Di India ada keluarga Gandhi. Di Amerika ada keluarga Kennedy dan Bush. Di Singapura ada Lee Hsien Loong yang menggantikan jabatan bapaknya, Lee Kwan Yew sebagai Perdana Menteri.

Di negara-negara komunis jangan ditanya lagi. Raul Castro menggantikan kakaknya, Fidel Castro sebagai Presiden Kuba. Kim Jong Un menggantikan bapaknya, Kim Jong Il sebagai Pemimpin Korea Utara. Kim Jong il juga menggantikan jabatan bapaknya, Kim Il Sung.

Jadi, salahkah dinasti politik? Di negara demokrasi sekali pun, seperti Indonesia, tidaklah salah. Sebab, yang memilih mereka adalah rakyat. Mereka dipilih langsung oleh rakyat. Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Sistem politik di Indonesia yang cenderung liberal juga kondusif bagi lahirnya dinasti politik. Dalam sistem liberal, yang menentukan adalah kekuatan modal, bukan moral.

Dinasti politik memang berpotensi kuat menyuburkan budaya koruptif. Tapi pencegahan dinasti politik bukan dengan membuat aturan hukum yang diskriminatif, melainkan dengan kerja-kerja politik untuk mencegah tumbuh suburnya dinasti politik tersebut.

Tak kalah penting adalah “check and balance” antar-trias politika, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif berjalan efektif agar tidak terjadi “abuse of power” atau penyalahgunaan kekuasaan.

Terkait dinasti politik Jokowi, Gibran dan Bobby diharapkan tidak memanfaatkan jabatan sang ayah, apalagi untuk kepentingan diri dan keluarga. Bekerjalah profesional. Bangunlah integritasmu sendiri. “Ojo aji mumpung”, “ojo dumeh”. Jadilah dirimu sendiri.

Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM, Anggota DPR RI Periode 1999-2004, 2004-2009 dan 2009-2014.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *