KPK Masih Punya Taring

Oleh Herie Purwanto

OPERASI tangkap tangan (OTT) menjadi salah satu ”senjata” yang diandalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) demi memberantas korupsi di negeri ini. ”Senjata” tersebut digunakan KPK untuk melakukan empat kali OTT dalam kurun waktu 10 hari. Yang terbaru, KPK melakukan OTT terhadap pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) terkait bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi Covid-19.

Pejabat Kemensos yang terkena OTT KPK kini tengah menjalani pemeriksaan di gedung KPK. Demikian pemberitaan salah satu media yang penulis kutip. Tiga kegiatan tangkap tangan lainnya, seperti kita ketahui, diawali dengan tertangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan, disusul Wali Kota Cimahi dan Bupati Banggai Laut.

Seperti gerak maraton, keempat operasi tangkap tangan ini dilakukan oleh KPK. Sebagaimana tulisan saya saat Menteri Kelautan dan Perikanan ditangkap (Suara Merdeka, 27/11), UU KPK yang baru tidaklah mengurangi, memberangus ataupun akan membonsai proses pemberantasan korupsi.

Seolah-olah narasi yang dibangun, dengan UU KPK yang baru, proses penyidikan yang menjadi core bussines KPK menjadi mandul. Kenyataannya, walaupun secara kuantitas mengalami penurunan dalam hal tangkap tangan, secara kualitas KPK masih mampu menangkap koruptur level atas, ibarat menangkap ikan, kali ini KPK berhasil menangkap ikan kakap.

Pernahkah sepanjang KPK berdiri dalam 10 hari bisa menangkap dua orang menteri aktif? Sungguh ”ikan kakap”, yang sekaligus menunjukkan bahwa KPK masih punya taring. Analisis apa yang bisa disampaikan sehingga pada akhir tahun ini KPK justru kelihatan garang? Pertama, bahwa setelah UU KPK yang baru, jajaran pimpinan KPK beserta jajarannya berada dalam posisi menyesuaikan diri dengan ‚Äúsuasana dan roh‚Äù UU KPK yang baru.

Dari menyiapkan regulasi terkait program afirmasi kepegewaian (transformasi ke arah status SN), menyiapkan berbagai prosedur operasional standar untuk menutup celah dan menjadi pedoman adanya Dewan Pengawas KPK sampai pada hal yang kecil dilakukan oleh penyelidik dan penyidik, misalnya bagaimana memproses secara administrasi pengajuan hingga pengesahan izin penyadapan, penyitaan dan penggeledahan kepada Dewan Pengawas dengan segala pernik-pernik permasalahan sehingga ditemukan cara dan format yang bisa dilaksanakan tanpa mengganggu proses pengungkapan sebuah perkara.

Kondisi ini juga dihadapkan pada penyesuaian prioritas dalam pemberantasan korupsi, dengan narasi mengapa harus ditangkap bila bisa dilakukan pencegahan? Sampai akhirnya terungkap berapa banyak sudah uang negara yang bisa diselamatkan dari fungsi pencegahan ini. Bila akhirnya, fakta-fakta kemudian menunjukkan masih adanya koruptor yang tetap nekat, maka seperti yang terjadi dalam pekan-pekan di ujung tahun ini, kegiatan tangkap tangan kembali diprioritaskan, sebagai warning kepada para koruptor bahwa KPK masih ada dan mempunyai eksistensi.

Hal ini menjadi kausalitas dari analisis yang kedua, yaitu sangat dimungkinkan para koruptor sudah menganggap KPK dalam posisi tiarap, tidak bergigi atau bertaring lagi, sehingga dengan leluasa mereka nekat melakukan korupsi. Ini dapat terlihat dari modus korupsi dari keempat koruptor yang terkena tangkap tangan KPK.

Modus Menteri Kelautan dan Perikanan, bermula pada 14 Mei 2020 ketika Menteri KKP Edhy Prabowo menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MENKP/ 2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budi Daya Lobster.

Edhy pun menunjuk Staf Khusus Menteri Andreau Pribadi Misata (APS) selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) dan Staf Khusus Menteri Safri selaku Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas. Salah satu tugas dari Tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur.

Dari sini kemudian muncul nego terkait komitment fee. Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna membuat modus tertentu untuk menyamarkan pemberian suap dari pemilik Rumah Sakit Umum Kasih Bunda. Ajay meminta pihak rumah sakit untuk membuat perincian pembayaran dan kuitansi palsu berupa pembayaran konstruksi pembangunan rumah sakit.

Untuk menyamarkan adanya pemberian uang kepada Ajay, pihak RSU Kasih Bunda membuat perincian pembayaran dan kuitansi fiktif seolah-olah sebagai pembayaran pekerjaan fisik pembangunan. Adapun indikasi uang suap yang diterima Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo akan digunakan untuk kepentingan kampanye atau serangan fajar pada Pilkada Serentak 9 Desember 2020. Wenny adalah calon bupati petahana dalam Pemilihan Bupati Banggai Laut yang akan digelar pada Rabu (9/12) mendatang.

Dalam tahap penyelidikan sudah terlihat indikasi bahwa uang-uang yang terkumpul ini dimaksudkan untuk digunakan dalam biaya-biaya kampanye ataupun kemungkinan digunakan untuk melakukan apa yang sering kita dengar dengan sebuatan ”serangan fajar”.

Yang paling receh, indikasi ini justru diperlihatkan oleh Menteri Sosial Juliari P Batubara sebagai tersangka suap bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek 2020. Modus pemberian suap yang diduga diterima Mensos Juliari P Batubara, diawali dengan adanya pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 triliun yang terbagi dalam 272 kontrak dan dilaksanakan dalam dua periode.

Korupsi dengan ”mengutip” sebesar Rp 10.000 per paket sembako dari nilai Rp 300. 000 per paket bansos. KPK tetap eksis dan selalu mengharap peran serta dan dukungan masyarakat Indonesia dalam pemberantasan korupsi. Tidak usah lagi bernarasi bahwa KPK lemah karena UU KPK yang baru. Lex prospicit, non respicit‚Äì The law looks forward, not backward (hukum melihat ke depan bukan ke belakang). (40)

Dr Herie Purwanto SH MH,perwira menengah Bareskrim Polri, penyidik KPK.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *