Sekum MUI Jabar: Jangan Boikot Barang yang Diproduksi Indonesia

Ilustrasi: istimewa

JAKARTA- Sekretaris Umum (Sekum) MUI Jabar Rafani Akhyar mengingatkan masyarakat aksi boikot produk Prancis harus dilakukan dalam koridor yang tepat dan tidak merugikan masyarakat. Sebab, ia melihat aksi boikot yang dilakukan masyarakat selama ini justru menyasar produk-produk yang diproduksi Indonesia.

“Aksi boikot jangan sampai menimbulkan kemudharatan bagi pihak lain, terutama masyarakat kecil. Produk mahal seperti mobil, tas mewah, bolehlah. Tapi kalau produk-produk yang dibuat di sini, seperti Aqua, itu kan pegawainya di sini, penjualnya pedagang kecil, boikot malah merugikan saudara-saudara kita sendiri,” jelas Rafani Akhyar sebagaimana ditayangkan oleh TV CNN Indonesia.

Apa yang disampaikan Rafani Akhyar bukan tak beralasan. Seruan dan aksi boikot produk Prancis di Indonesia sering salah sasaran. Yang disasar justru produk-produk yang diproduksi di Indonesia. Sebut saja air kemasan merek Aqua dan susu SGM. Kedua produk tersebut lahir, dikembangkan dan diproduksi di Indonesia.

Produk lain seperti Garnier juga pabriknya ada di Indonesia, namun menjadi sasaran aksi boikot dalam beberapa hari terakhir. Sementara, merek-merek besar lainnya seperti mobil Peugeot, Rhenault, produk fashion mewah Luis Vuitton, Christian Dior hingga Hermes adalah produk yang langsung dari Prancis.

Dampak dari boikotpun menurut Rafani sudah mulai dirasakan masyarakat. Sejumlah pedagang kecil mulai merasa resah dengan seruan dan aksi boikot yang sudah mulai terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Meski di akui para pedagang, konsumen masih mencari produk konsumsi sehari-hari tersebut, namun tetap ada kekhawatiran dikalangan para pedagang.

“Saya dagang Aqua itu kan sudah cukup lama ya, jadi orang-orang tetap nyari. Makanya saya tidak setuju ada boikot,” ujar Samsu, seorang pemilik warung di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Laki-laki 40 tahun itu juga mengaku heran, kenapa seruan boikot itu gencar hanya untuk produk sehari-hari yang banyak dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah. “Ini kan yang biasa kita gunakan sehari-hari, yang sanggup kita beli. Yang kerja di pabriknya juga orang-orang kita. Harusnya tas-tas mahal yang harganya puluhan juta, ada yang berani nggak buang-buangin?,” ujar Samsu.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Adhi S Lukman menyayangkan adanya aksi boikot produk Prancis tersebut. Pasalnya, pernyataan menghebohkan Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang Islam disebut tidak ada kaitannya dengan bisnis.

“Sebaiknya kita jangan kaitkan politik dengan bisnis karena dunia usahanya tidak ada kaitan apapun dengan pernyataan Macron,” jelas Adhi.

Menurut Adhi, aksi boikot produk Prancis ini akan berdampak merugikan jika Prancis maupun negara yang menyerukan aksi saling memboikot produk.

“Pasti akan berpengaruh bila saling boikot. Kedua negara dirugikan,” ucapnya.

Senada dengan Adhi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan, konsumsi rumah tangga selalu menjadi penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada PDB Semester I 2020 yang sebesar 1,26%, kata Roy Nicholas Mandey, konsumsi rumah tangga dari peritel berhasil menyumbangkan sekitar 57 persen.

“Konsumsi rumah tangga itu masih selalu yang tertinggi karena memang negara Indonesia masih negara konsumtif, belum menjadi negara pengekspor. Dari beberapa penentu besaran PDB, yaitu konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor, yang dikurangi dengan impor, semuanya itu yang mendominasi adalah konsumsi rumah tangga. Makanya untuk pemulihan ekonomi nasional saat pandemi ini, pemerintah mendorong dengan bantuan-bantuan tunai supaya konsumsi masyarakat tetap terjaga, sehingga bisa menopang pertumbuhan ekonomi kita,” ujar Roy.

Karenanya, kata Roy, aksi-aksi seperti sweeping dan boikot terhadap produk-produk Prancis ini, pasti akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Yang terkena dampak bukan hanya kepada produk-produk Prancisnya saja, tapi juga produk lainnya karena masyarakat takut untuk berbelanja. Dampak ekonomi secara nasional juga terimbas, karena setiap barang yang dijual kan ada PPN-nya bagi negara. Kalau pembeli berkurang, PPN-nya kan berkurang. Padahal itu digunakan untuk berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat , subsidi pemulihan ekonomi nasional, dan sebagainya. Jadi kalau terjadi dampak ke ritel, kan pajaknya juga kurang,” tuturnya.

Selain itu, menurut Roy, aksi sweeping dan boikot ini juga akan berdampak terhadap hampir 5.000 pekerja di semua perusahaan ritel anggota Aprindo, yang terdiri dari kasir, SPG, karyawan toko, gudang, dan kantor.

“Jadi kalau ada gerai yang tutup karena mengalami kerugian oleh ulah aksi itu, akan banyak karyawan yang dipecat. Pengangguran akan bertambah banyak,” tukasnya.

Untuk itu, kata Roy, Aprindo tidak pernah mengeluarkan rekomendasi kepada para anggotanya untuk boikot atau menarik barang-barang produk Prancis.

“Kita memang mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron seperti yang disampaikan pemerintah, tapi Aprindo tidak pernah mau menyerukan ke anggota seperti apa yang dikatakan ormas atau LSM untuk melakukan boikot,” ucapnya. (bal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *