Imajinasi.

Wawan Arif Rahman. (SMJkt/Ist).

Oleh Wawan Arif Rahman.

JAKARTA, Suaramerdekajkt.com —
Sekian tahun lalu ada seorang kenalan megirim pesan berisi daftar judul karya sastra klasik Barat. Dia bermaksud meminta saya mencarikan buku-buku tersebut yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahsa Indonesia.

Jika ada, tambahnya, yang sudah dalam versi untuk anak-anak karena dia memang memerlukan buku-buku itu untuk anaknya yang saat itu masih ada di sekolah dasar.

Saya cukup kaget saat membuka daftarnya. Di situ berderet beberapa judul yang kebetulan saya pun punya bukunya, meskipun sebagian tidak tuntas terbaca, sebagian kecil saya sangat menikmati saat membacanya.

Yang saya ingat, sebagian dari daftar judul itu menyebut beberapa karya Jane Austin, Charles Dickens, Oscar Wilde, Alexander Dumas, bahkan Leo Tolstoy.

Sebagian karya beberapa penulis tadi saya pun sempat membacanya. Dan yang saya ingat, meskipun kalau sudah “tune in” bisa lupa waktu, tetapi saya sering merasa kesulitan untuk bisa memahaminya.

Saya pun mencoba mengkonfirmasi ke kenalan saya itu. Daftar judul yang dia kirim, menurut saya, adalah bacaan yang untuk orang seusia kami pun bukan bacaan yang mudah, lha kok ini akan dia peruntukkan untuk anaknya.

Kemudian panjang lebar dia menerangkan bahwa dia telah diberi pencerahan dan rekomendasi kawannya yang dia anggap kompeten, yang mendapati bahwa membaca karya sastra klasik itu di beberapa negara (Barat) sudah dijadikan pola resmi dalam pembentukan/pendidikan karakter anak usia sekolah, bahkan sekolah dasar.

Ada dua hal yang saya masih belum tehu persis kebenarannya.

Pertama, apakah memang karya-karya sastra klasik, yang menurut saya memang baru bisa dibaca oleh orang dewasa, memang ada versi yang untuk anak-anak atau pemulanya.

Kedua, apakah benar membaca karya sastra klasik itu di beberapa negara (Barat) sudah dijadikan pola resmi dalam pembentukan/pendidikan karakter anak.

Untuk hal yang kedua, menurut saya bisa jadi benar. Setidaknya dalam konteks betapa karya (dunia) sastra sangatlah berperan dalam kehidupan manusia secara individu, bahkan negara.

Kita tak perlu berdebat panjang saat mendapati Albert Einstein menyatakan bahwa imajinasi (khayalan) lebih menakjubkan dibanding logika.

Sehingga, mendekatkan anak sedini mungkin dengan sastra adalah alternatif paling menarik di tengah kepungan aturan pemerintah yang terlalu sibuk berkutat pada teori formal menyoal pendidikan karakter,

Membayangkan mengakrabkan karya-karya sastra klasik Barat, atau sastra-sastra “serius” Indonesia kepada anak-anak usia sekolah kita mungkin masih menjadi imajinasi.

Tetapi mendekatkan mereka dengan aktivitas menulis sastra secara lebih leluasa, tidak perlu dibebani sederet kualifikasi, mungkin lebih efektif sebagai bentuk memulai memasuki dunia imajinasi itu.

Dan, sesederhana dan sebergairah itu pula saat saya dan tim saya di Relasi Inti Media memutuskan mendukung Pak Harjana, kepala sekolah SMPN 1 Banguntapan dalam menginisiasi penerbitan karya-karya siswanya berupa puisi, cerita pendek, dan naskah drama ke dalam bentuk buku.

Satu lagi, Pak Harjana berhasil menghindarkan guru-guru di sekolahnya untuk menanggung malu kepada para siswa dengan menulis kumpulan opini yang juga akhirnya menjadi buku.

Aksi-aksi seperti ini, saya kira, layak ditularkan ke banyak sekolah lainnya.

Panjang umur literasi, panjang umur imajinasi, panjang umur pendidikan. (Bb-69).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *