Kembali ke Nilai Rasa.

JAKARTA, Suaramerdekajkt.com — Presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri (80) mempunyai kiat superjitu dalam menimbang dan menilai sebuah pembacaan karya Puisi, dengan cara paling adil dan berkeadilan.

Alihalih bersandar pada angka, atau tabulasi yang kemudian dimatrikkan dalam sebuah tabel, penulis magnum opus, “O, Amuk, Kapak” (1981) — yang dirangkum dari tiga judul kumpulan sajaknya, yakni O (1966—1973), Amuk (1973—1976), dan Kapak (1976—1979) — itu, mengembalikan penilaian pembacaan karya Puisi ke rumahnya yang paling purna dan purba; perasaan. Nilai rasa!

“Nilai rasa tidak bisa diangka-angka,” kata bang Tardji — demikian kami biasa menyapanya — dalam sesi penilaian Lomba Baca Puisi Khusus untuk Jurnalis se – Indonesia dalam rangka HUT Partai Golkar ke-56, di Jakarta, Senin (12/10/2020).

Bang Tardji menambahkan, inti paling utama menilai pembacaan Puisi, baik deklamasi juga musikalisasi Puisi adalah; Penampilan.

“Nah, dari penampilannya, kita akan mendapatkan semuanya, atau sebagian, atau tidak sama sekali,” imbuh bang Tardji.

Maksudnya, bagaimana dia (pembaca puisi) menafsirkan Sang Puisi, untuk masuk ke rumah penghayatan, untuk kemudian membunyikan puisianya via artikulasi (vokal, dan ritme), juga bahasa gambar (sinematografinya) yang harmonis.

Yang keseluruhan unsur pembangun penampilan itu, akankah menghasilkan kebaruan. Atau justru menimbulkn kebosankan, atau kalau beruntung, menghasilkan kebagusan.

“Penampilan itu diharapkan akan segar, unik dan menimbulkan kebaruan atau tidak. Karena dalam pembacaan Puisi, ada pertemuan kepribadian antara penyair dan sang Puisi,” katanya lebih lanjut.

Atau dalam penjelasan bang Tardji yang mangkus dan mustahak dikatakan, “Penampilan Auteur — artis tunggal yang mengendalikan seluruh aspek karya kreatif kolaboratif, dalam hal ini pembaca sajak — terikat kuat dengan penampilan inner-nya. Bagaimana penghayatan dari dalamnya. Apakah over atau under karena terlalu kering,” katanya seperti memberikan mata pelajaran pendalaman kreativitas kepada murid-muridnya; saya dan mas Wina Armada Sukardi

Dua Juri lain di ajang yang akan diumumkan pemenangnya pada Kamis (15/10/2020) siang itu, adalah Lola Amaria.

Bang Tardji dengan suara lirih, serak dan datarnya itu, kembali seperti bernubuat kepada kami yang mengangguk-angguk saja, laksana murid yang takzim kepada gurunya.

“Membaca Puisi tidak harus memekik-mekik. Kadang bisa gemulai, kadang sarkasme, kadang malah penuh ketenangan. Atau bisa jadi pembacaan dari sisi humoristik, atau romantika.
Yang penting semua menyergap kita,” tekannya.

Terma “menyergap” ini sangat subyektif sekali. Apa yang menyergap (perasaan) saya, juga anggota Dewan juri lainnya, belum tentu menyergap bang Tardji. Demikian sebaliknya. Keluarbiasaan di mata saya, sangat bisa jadi ecek ecek, recehan di mata bang Tardji, yang katam estetika itu. Kata saya.

“Karena itulah sebenarnya tidak bisa diangka angka, karena itu persoalan hati. Jadi Kumpulan 10 besar menurut mu. Karena klasifikasi (angka-angka) tadi, itu hanya untuk daya ingat Juri. Karena seperti The Beatles, daya pukau atau daya tariknya banyak sekali,” jawab bang Tardji.

“Jadi tidak parsial, tapi in toto (menyeluruh),” kata mas Wina menyimpulkan.

Atau angka belakangan, karena angka menunjukkan relativitas. Meski parameternya sama. Dalam bahasa bang Tardji, “Kita gradasikan aja. Tinggal dicocokkan. Kemudian, kita memilih 10 nama, masing-masing anggota Dewan Juri,” kata bang Tardji lagi.

Lomba yang telah digulirkan sejak beberapa Minggu lalu Itu, paling banyak diikuti sejumlah penyair cum wartawan dari Sumatra. Teristimewa dari Sumatra Barat, Jambi, Lampung, Palembang, dan Riau. Sisanya dari Sulawesi Tenggara hingga Makassar. Sisanya dari Jatim, Jateng dan DKI Jakarta.

Buat Saya, semua pengirim atau peserta lomba ini adalah pemenang,” pungkas bang Tardji. Saya makmum aja. (Benny Benke -69)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *