Literasi Digital Guru dan Siswa

PERIBAHASA every cloud has a silver lining atau blessing in disguise agaknya tepat untuk menggambarkan pandemi Covid- 19, terutama dampaknya pada literasi digital guru dan siswa.

Pemberlakuan pembelajaran jarak jauh (PJJ) mengharuskan mereka menggunakan teknologi digital untuk kegiatan belajar dan mengajar (KBM). Tingkat literasi digital mereka pun meningkat. Sebelum pandemi, boleh jadi fungsi utama medsos mereka adalah untuk mengetahui aktivitas anggota keluarga.

Semasa pandemi, mereka juga menggunakannya untuk berbagi tautan materi KBM. Kini mereka mengenal aplikasi Zoom atau Google Meet dan sebagian menggunakannya untuk KBM virtual. Namun, sebaiknya pemangku kepentingan pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak serta-merta mencatatnya sebagai pencapaian besar. Penelitian Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), yang dilakukan di 18 kota di Indonesia dan melibatkan 2280 responden, menunjukkan bahwa praktik literasi digital masyarakat kita masih berada pada tataran mencari informasi. Temuan penelitian tersebut tercermin dalam penyelenggaraan PJJ.

Banyak guru yang belum mampu secara mandiri membuat materi pembelajaran daring. Akhirnya, mereka hanya memberikan soal pada siswa. Jumlah dan tingkat kesulitannya pun kerap tidak disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan, dan latar belakang siswa. Banyak diberitakan, seorang siswa SMP harus mengerjakan 255 soal dari jam tujuh pagi sampai jam lima sore. Barangkali hal tersebut tidak terjadi jika praktik literasi digital para guru meliputi kegiatan mencipta dan mengomunikasikan konten (Spires & Bartlett, 2012), baik dalam konteks PJJ maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Konstruksi Identitas

Seseorang tengah mengonstruksi identitasnya saat ia membangun secara berkesinambungan pemahaman mendalam tentang diri, pandangan, nilai, pengetahuan, dan keterampilan dalam bidang tertentu.

Semakin banyak individu yang menjalani laku konstruksi identitas, semakin meningkat kualitas SDM di suatu negara. Literasi digital, terutama praktik mencipta dan mengomunikasikan konten di ruang-ruang virtual, dapat membantu seseorang mengonstruksi identitasnya. Berikut beberapa langkah untuk mewujudkannya, khususnya untuk konstruksi identitas guru sebagai pendidik profesional dan identitas siswa sebagai individu peraih cita-cita.

Sebagai sosok yang digugu dan ditiru oleh siswa, maka sebelum guru merancang dan melaksanakan KBM dengan pelibatan teknologi digital untuk mencipta dan mengomunikasikan konten, terlebih dahulu harus mengalami keduanya. Jika dulu mereka silent readers di sebuah komunitas guru di WhatsApp, maka mereka perlu mulai berkontribusi pada diskusi tentang pembelajaran dengan menulis tanggapan yang konstruktif. Jika sebelumnya mereka mendapat ide untuk pembelajaran dari video guru lain, kini saatnya mereka mengunggah video mereka dan mengundang balikan dari anggota komunitas. Jika kemarin mereka follow medsos para selebritis, mulai hari ini mereka perlu follow medsos para pendidik yang menginspirasi.

Dari para panutan ini, guru dapat memperoleh gagasan untuk pembelajaran yang bermakna atau sekadar petikan inspiratif untuk diunggah di medsos mereka. Proses konstruksi identitas melibatkan kegiatan refleksi. Maka, setelah mencipta dan mengomunikasikan konten digital, guru perlu berefleksi untuk memperoleh makna dari kegiatankegiatan tersebut. Ini diperlukan untuk membangun pemahaman mendalam bahwa konstruksi identitas juga merupakan proses sosial. Interaksi dengan panutan atau kerja sama dengan rekan sejawat diperlukan di dalamnya.

Kemudian, guru dapat mulai merancang pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses serupa, yang bertujuan mengonstruksi identitas mereka sebagai individu peraih cita-cita. Guru dapat memulainya dengan membuat daftar cita-cita para siswa. Lalu, berdasarkan tujuan pembelajaran, guru mendesain kegiatan yang melibatkan siswa dalam proses mencipta dan mengomunikasikan konten digital.

Sebagai contoh, pada mapel Bahasa Inggris, jika tujuannya adalah siswa dapat menyebutkan contoh dan fungsi kata sifat (pengetahuan) dan menggunakan kata sifat dalam teks tulis deskriptif untuk menggambarkan orang (keterampilan), maka setelah siswa mampu menyebutkan contoh dan fungsi kata sifat, guru dapat meminta mereka untuk menulis teks deskriptif sosok berprestasi dari (suatu) profesi yang mereka cita-citakan. Setelah siswa merampungkan teks tersebut, mereka mengunggahnya di platform digital untuk pembelajaran, contohnya Padlet, untuk mendapatkan masukan dari warga kelas. Lalu, siswa memperbaiki teks mereka. Berikutnya, di medsos masing- masing, siswa mengunggah teks tersebut beserta foto sosok yang dipilih. Kegiatan tersebut membelajarkan sekaligus mengonstruksi identitas siswa.

Mereka perlu memilih foto dan mengeditnya dengan menambahkan efek atau emoticon agar hasilnya padu dengan teks deskriptif mereka. Siswa juga harus menulis caption yang sesuai dengan postingan agar komentar yang akan didapat dari follower adalah yang berkaitan dengan upaya pencapaian citacita mereka, yaitu memiliki profesi yang sama dengan profesi sosok tersebut. Agar pembelajaran makin menarik, guru dapat meminta siswa untuk tag sosok tersebut pada postingan mereka.

Untuk kegiatan refleksi, siswa membaca dan memaknai komentar pada postingan masing-masing dan postingan temannya. Ada internalisasi dalam proses pemaknaan dan inilah yang dapat mendorong siswa untuk melakukan kegiatan serupa, yaitu mengekspresikan dan membangun identitas dambaan mereka melalui medsos secara mandiri di luar kelas. Dengan begitu, konstruksi identitas mereka berkelanjutan.

Meski pademi Covid-19 belum berlalu, kualitas sumber daya manusia perlu terus ditingkatkan. Peningkatan literasi digital harus menjadi bagian dari agenda pembangunan tak kasatmata tersebut, terutama literasi digital para guru. Tingkat literasi digital mereka tercermin dalam kegiatan pengajarannya. Jika guru hanya memberikan soal secara virtual sebagai pengganti pembelajaran, literasi digital mereka akan sulit meningkat. Jika guru menggunakan literasi digital untuk terus mengonstruksi identitas sebagai pendidik profesional, mereka akan mendorong siswa untuk melakukan hal yang sama sebagai usaha mencapai cita-cita.

Dalam pembelajaran dengan pelibatan literasi digital untuk konstruksi identitas, pergeseran (baca: peningkatan kualitas SDM) berlangsung, dari anggota pasif menjadi anggota aktif, dari meniru menjadi ditiru, dari konsumen konten menjadi produsen konten, dan dari keterpaksaan menjadi kebiasaan. Ketika etos ini dihayati oleh siswa dan menjadi elan kegiatan di luar kelas, mereka tak akan lagi bingung mencari identitas karena mereka akan sibuk mengonstruksi identitas. (37)

Puji Astuti PhD dan Agung Ginanjar Anjaniputra MPd, dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FBS Unnes.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *