Rekonsiliasi Nasional

Oleh: Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM

Ada tiga tonggak penting yang dapat dijadikan momentum rekonsiliasi nasional saat ini. Pertama, ingatan peristiwa Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI, dan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1965. Kedua, Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI), 5 Oktober 1945. Ketiga, pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang saat ini sedang melanda Indonesia dan dunia.

Ya, kegaduhan politik yang meliputi bangsa ini tak kunjung usai. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang semula diharapkan dapat mengakhiri kegaduhan tersebut, ternyata tidak bisa juga. Bangsa ini seolah terbelah ke dalam dua kubu. Sebab itu, diperlukan rekonsiliasi nasional untuk menyatukannya.

Setiap bulan September, isu tentang kebangkitan PKI selalu marak. Ini terkait G30S/PKI yang menewaskan enam jenderal dan 1 perwira sebagai korban. Namun faktanya, PKI tak bangkit-bangkit juga.

Peristiwa G30S/PKI bermula dari rivalitas PKI dan TNI berebut pengaruh di depan Bung Karno. Sebab itu, peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-55 Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2020, dan HUT ke-75 TNI, 5 Oktober 2020, hendaknya dijadikan momentum untuk rekonsiliasi, khususnya antara TNI dan PKI.

TNI sebagai “pemenang” hendaknya menjadi pihak yang menginisiasi rekonsiliasi tersebut. Tentu dengan difasilitasi pemerintah. Dalam usia 75 tahun, tentu TNI sudah sangat dewasa.

Secara simbolik, anak cucu tokoh-tokoh PKI dipertemukan dengan anak cucu 6 jenderal dan 1 perwira korban G30S/PKI, yang dikenal sebagai Pahlawan Revolusi, untuk saling bermaaf-maafan. Acara ini simbolik saja, karena rekonsiliasi sesungguhnya adalah meliputi seluruh rakyat Indonesia.

Memaafkan, tapi tidak melupakan. Mengapa kita sulit memaafkan PKI sebagai sesama anak bangsa sendiri? Sedangkan terhadap bangsa asing, yakni penjajah seperti Belanda dan Jepang, kita dengan mudah memaafkannya. Bahkan Indonesia sudah lama menjalin kerja sama dengan Belanda dan Jepang.

Benar kata Bung Karno, perjuangan generasi saat ini lebih berat daripada perjuangan semasa Bung Karno. Sebab bila dulu yang dihadapi bangsa asing, sekarang yang dihadapi adalah bangsa sendiri.

Kita patut belajar dari Afrika Selatan yang melakukan rekonsiliasi nasional usai berakhirnya politik Apartheid yang menghadapkan warga kulit hitam dengan warga kulit putih, di mana rekonsiliasi itu dipelopori Nelson Mandela, pejuang kulit hitam yang kemudian memenangkan pemilu dan menjadi Presiden Afsel.

Usai rekonsiliasi, jangan lagi ada stigmatisasi PKI. Jangan lagi paranoid terhadap PKI. Jangan lagi fobia terhadap PKI.

Mengapa kita takut terhadap bangkitnya PKI? Bukankah komunisme sebagai ideologi telah bangkrut hampir di seluruh penjuru dunia? Bukankah keberadaan PKI di Indonesia juga sudah dilarang dengan TAP MPRS XXV/1966? Artinya, bila ada indikasi PKI bangkit, aparat penegak hukum bisa langsung menindaknya. Mengapa kita harus takut?

Percaturan Politik

Percaturan politik nasional saat ini masih merupakan kelanjutan dari pertarungan politik antara kubu Soekarno atau Orde Lama dan kubu Soeharto atau Orde Baru.

Kubu Orde Lama atau Bung Karno saat ini dipersonifikasikan oleh PDI Perjuangan yang mengusung Presiden Joko Widodo, sedangkan kubu Orde Baru atau Pak Harto dipersonifikasikan oleh Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Di permukaan memang Prabowo dengan Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri akur-akur saja setelah Prabowo, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra dan mantan menantu mendiang Presiden Soeharto, bergabung dengan pemerintah sebagai Menteri Pertahanan. Tapi di tingkat ‘grass roots’ atau akar rumput, yakni massa PDIP dan massa Partai Gerindra, kondisnya bak api di dalam sekam.

Begitu pun SBY yang mengendalikan Partai Demokrat, lebih memiliki “cemistry” atau persenyawaan dengan kubu Orde Baru. SBY guru besarnya adalah Pak Harto. Mereka satu guru satu ilmu melalui Sarwo Edhie Wibowo, ayah dari mendiang Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono atau mertua dari SBY.

Kemunculan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo saat ini juga merupakan bagian dari kubu Orde Baru. Sebab itu, masuk akal bila kini Gatot Nurmantyo ke sana kemari mengusung isu bangkitnya PKI. Sebab, titik terlemah kubu Bung Karno dan penerusnya memang soal PKI.

Isu PKI akan dikemas kubu Orde Baru sedemikian rupa, berkelindan dengan isu Covid-19 dan krisis ekonomi, untuk terus menyerang pemerintah.

Padahal sesungguhnya
pandemi Covid-19 justru bisa dijadikan momentum bagi semua komponen bangsa, terutama elite politik, untuk bersatu dan berjuang bahu-membahu bersama pemerintah untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Persatuan lebih mudah digalang dengan menciptakan musuh bersama atau “common enemy”, dan pandemi Covid-19 adalah musuh bersama yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia untuk bersama-sama melawannya.

Pandemi Covid-19 bahkan bisa dijadikan momentum untuk rekonsiliasi nasional dengan menghilangkan sekat-sekat yang merupakan residu dari Pilpres 2014/2019.

Namun faktanya, bangsa ini, terutama elite politik, selalu gontok-gontokan dalam menghadapi wabah Covid-19.

Bangsa-bangsa lain sibuk dengan mimpi-mimpi masa depan mereka, bahkan menjajaki kemungkinan hidup di planet-planet lain. Sementara bangsa kita masih berkutat dengan trauma masa lalu. Kalau sudah begini, “quo vadis” (mau dibawa ke mana) Indonesia?

Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *