Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Orang berasumsi, Mahkamah Agung ibarat algojo yang palu godamnya sekali pukul langsung membuat ambyar. Namun realitanya, Mahkamah Agung justru suka main sunat hukuman koruptor. Mahkamah Agung pun menjelma menjadi Mahkamah Ambyar.
Tak kurang dari 23 koruptor yang dihukum sepanjang 2019-2020 hukumannya disunat Mahkamah Agung (MA) di tingkat Peninjauan Kembali (PK). MA kini sedang menangani permohonan PK 38 koruptor lainnya.
Teranyar adalah mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Sugiharto yang hukumannya disunat paling banyak, yakni 5 tahun, dari 15 tahun menjadi 10 tahun penjara. Mantan pejabat Kemdagri lainnya, Irman, hukumannya disunat 3 tahun, dari 15 menjadi 12 tahun penjara. Keduanya terlibat korupsi proyek e-KTP yang juga melibatkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Yang lebih teranyar adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Hukuman terpidana kasus suap proyek Hambalang ini disunat lebih banyak lagi, yakni 6 tahun, dari 14 menjadi 8 tahun.
Padahal, hukuman para koruptor itu sudah tergolong ringan. Data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2016-2019, para terdakwa korupsi rata-rata divonis ringan. Sepanjang 2019, dari 1.125 terdakwa korupsi, hukuman yang dijatuhkan terhadap mereka rata-rata hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Bahkan ada 54 terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas.
Terkait sunat hukuman para koruptor, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro berdalih, sebagai lembaga peradilan, MA bukan hanya berperan sebagai penegak hukum, melainkan juga sebagai penegak keadilan, termasuk menyelaraskan berat-ringannya pidana yang dijatuhkan. Keadilan yang diterapkan MA, kata Andi yang ikut menangani PK Anas ini, adalah keadilan untuk semua, yaitu keadilan bagi korban, keadilan bagi terdakwa/terpidana serta keadilan bagi negara dan masyarakat.
Akan tetapi, Pak Andi, bukankah keadilan itu relatif? Bagi khalayak ramai, adil adalah bila koruptor dihukum berat. Sebab mereka telah menjarah uang negara yang berarti uang rakyat. Korupsi berkontribusi pada kemiskinan rakyat. Korupsi adalah “extraordinary crime” (kejahatan luar biasa).
Apalagi, vonis bagi koruptor di Indonesia tergolong ringan, di bawah 4 tahun yang merupakan tuntutan minimal bagi terdakwa korupsi. Koruptor di Indonesia banyak yang dihukum setara atau bahkan lebih ringan daripada hukuman bagi maling ayam. Sebab itulah, keadilan bagi rakyat adalah hanya bila koruptor dihukum seberat-beratnya, bahkan dihukum mati laiknya pelaku “extraordinary crime” lainnya seperti teroris dan gembong narkoba. Apalagi Anas pernah sesumbar mau digantung di Monas jika terbukti korupsi satu rupiah saja.
Ini demi terciptanya “deterrent effect” atau efek jera bagi mereka, dan “shock teraphy” atau terapi kejut bagi calon koruptor. Tanpa “deterrent effect” dan “shock teraphy”, jangan harap korupsi di Indonesia akan ambyar.
Memang, hakim dipersepsikan sebagai manusia setengah dewa, bahkan wakil Tuhan di muka bumi ini, yang diberikan kewenangan amat besar oleh undang-undang, terutama soal independensi. Dalam memutuskan perkara pun hakim memiliki kebebasan, yakni berdasarkan keyakinan hati nuraninya. Hanya Tuhan dan hakim itu sendiri yang tahu isi hati nuraninya.
Bukan kaleng-kaleng, independensi hakim dijamin di dalam konstitusi, yakni Pasal 27 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan bebas. Implementasinya adalah UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Tapi faktanya, hakim tetaplah manusia biasa yang tak pernah bisa lepas dari nafsu duniawinya. Hakim tak pernah mencapai derajat manusia setengah dewa. Banyak hakim yang tidak independen. Banyak hakim yang tidak mendengarkan bisikan hati nuraninya. Banyak hakim yang terlibat korupsi.
Sejak 2012 hingga 2019, sedikitnya 20 hakim terlibat korupsi. Achmad Yamanie dipecat dari jabatan Hakim Agung MA akhir 2012.
Lantas apa paramater keadilan? Apa menyunat hukuman koruptor itu adil? Bagi koruptor dan keluarganya, ya. Tapi bagi publik, jelas tidak.
Langkah MA gemar menyunat hukuman koruptor juga jelas-jelas menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi adalah “extraordinary crime” dan “common enemy” (musuh bersama) bagi rakyat, sehingga mengatasinya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa dan melibatkan partisipasi rakyat.
Apakah lantas MA bisa disebut sebagai musuh bersama bagi rakyat karena telah berpihak kepada koruptor? Bila demikian, ke mana rakyat harus mencari keadilan, ketika MA telah gagal menjadi benteng terakhir bagi penegakan hukum dan keadilan?
Maka wajar bila Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2019 ada di skor 40 dan ranking 85 dari 180 negara. Skor berdasarkan indikator 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih). IPK Indonesia relatif rendah. Artinya, Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia.
Sempurna
Bila kegemaran MA menyunat hukuman koruptor ini dihubungkan dengan keberadaan lembaga dan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini, maka makin sempurnalah kemunduran upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ketua KPK Firli Bahuri baru saja dijatuhi sanksi ringan berupa peringatan tertulis karena bergaya hedon. Firli juga merupakan sosok yang kontroversial. Semasa menjabat Deputi Penindakan KPK, Firli diduga bertemu dengan pihak yang sedang diperiksa KPK. Firli pun mendapat sanksi.
Keberadaan lembaga KPK saat ini memang ibarat “lame duck” (bebek lumpuh) sejak menggunakan undang-undang yang baru, yakni UU No 19 Tahun 2019 yang menggantikan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dengan UU baru, KPK memiliki Dewan Pengawas. Bila hendak melakukan penyadapan, pimpinan KPK harus minta izin Dewan Pengawas terlebih dahulu. Maka operasi tangkap tangan yang selama ini menjadi andalan KPK akan jauh berkurang karena bocor duluan.
KPK kini juga memiliki kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang sebelumnya diharamkan. Dengan SP3 itu, penyidik dan komisioner KPK bisa main mata dengan tersangka.
Bila kondisi KPK sudah bak bebek lumpuh dan MA gemar melakukan penyunatan hukuman koruptor, maka masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia pun dapat dipastikan ambyar.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.