
Oleh: Dr Inge Hutagalung, M.Si
SELURUH dunia berduka, sejak awal Pebruari 2020 virus Covid-19 melanda umat manusia. Hal ini menyebabkan semua negara memberlakukan lockdown sebagai salah satu upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Di Indonesia, Pemerintah pusat didukung pemerintah daerah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk menanggulangi penyebaran virus yang mematikan itu.
Sejak dibentuknya Satuan Gugus Penanganan Covid-19, berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, mulai dari pengucuran bantuan sosial, pendirian rumah sakit khusus untuk penanganan Covid-19, pemberlakuan jam malam di daerah tertentu, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sanksi baik berbentuk materi maupun sosial, berbagai himbauan yang dipublikasikan pada pelbagai media, baik mainstream maupun media online.
Namun, semua upaya untuk pencegahan dan penanganan pandemi ini, bak menggarami air laut, karena angka penularan virus Covid-19 semakin meningkat tajam. Harapan wabah ini akan segera berakhir, dan masyarakat Indonesia dapat hidup kembali seperti keadaan normal pada Juli 2020 tidak kunjung tercapai. Penambahan kasus Corona di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir meningkat signifikan hingga lebih dari 3.000 kasus per hari. Kondisi mengkhawatirkan ini pun diakui oleh Satgas Penanganan COVID-19. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Dari perspektif komunikasi, apa yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah berada pada tataran komunikasi sosial dan komunikasi massa. Yaitu, tataran komunikasi sosial melalui publikasi pencegahan penularan Covid-19 yang dilakukan melalui kelompok sosial, seperti kelompok pengajian, komunitas sosial, mupun pengurus RT dan RW. Sementara, tataran komunikasi massa berupa himbauan, peraturan maupun sanksi terkait penanganan Covid-19 yang dipublikasikan melalui media massa, baik mainstream maupun berbagai sarana media online.
Diharapkan dari semua publikasi yang dilakukan akan menggerakkan masyarakat untuk ikut dalam upaya pencegahan peningkatan penularan virus Covid-19, minimal patuh dalam penggunaan masker, menjaga jarak (social distancing), dan selalu mencuci tangan. Namun apakah harapan dari semua upaya komunikasi sosial dan komunikasi massa tersebut dipatuhi masyarakat? Jika melihat peningkatan angka kasus Covid-19 yang senantiasa bertengger pada kisaran angka 3.000 kasus per-hari, dapatlah diniai bahwa upaya kedua tataran komunikasi belum berhasil secara maksimal. Lalu apa yang harus dilakukan?
Selain dua tataran komunikasi, masih ada lagi dua tataran komunikasi yang kiranya bisa diperkuat oleh gerakan pencegahan virus Covid-19, yaitu tataran komunikasi antarpribadi dan komunikasi intrapribadi.
Pada tataran komunikasi antarpribadi, ada dimensi yang dapat ditingkatkan pemberdayaanya terkait pencegahan penularan virus Covid-19, yaitu Empati. Empati, adalah proses kejiwaan seorang individu larut dalam perasaan orang lain baik suka maupun duka, dan seolah-olah merasakan ataupun mengalami apa yang dirasakan atau dialami oleh orang tersebut (Put your self in other shoes). Dikaitkan dengan upaya penurunan kasus Covid-19, kiranya dilakukan kegiatan yang dapat meningkatkan rasa Empati orang per-orang dengan menyadarkan individu bagaimana jika virus Covid-19 menyerang kekebalan tubuh individu bersangkutan.
Yang terjadi dikalangan masyarakat saat ini adalah tahu, mengerti dan memahami hal seputar virus Covid-19, namun baru sebatas memahami pada semua upaya pemerintah pusat dan daerah, namun belum sampai mengikuti semua anjuran pemerintatah pusat dan daerah. Bukti konkritnya, tempat wisata seperti Puncak tetap dipenuhi masyarakat yang hendak berlibur. Ironisnya, saat berwisata ketentuan pengaturan jarak cenderung terabaikan. Hal ini disebabkan penuh sesaknya orang yang berada pada satu tempat wisata, sementara pengawasan dari pihak tempat wisata terhadap pengaturan jarak (social distancing) terabaikan karena kekurangan tenaga pengawas.
Di sisi lain, banyak dijumpai muda-mudi yang hang out di Mall berbicara dengan membuka masker. Yang lebih parah lagi, banyak masayarakat di pasar tradisional yang tidak menggunakan masker. Jadi, masyarakat paham dan tahu akan bahaya virus Covid-19 baru pada batasan memahami saja, dan belum pada tingkatan empati. Yaitu, ikut merasakan bagaimana sangat berbahayanya virus Covid-19 yang karena keabaian atau kelalaian terhadap protokol kesehatan Covid-19 dapat membahayakan nyawa orang lain dan diri sendiri.
Menyadari kondisi ini, tindakan yang perlu dilakukan adalah menyentuh dan meningkatkan rasa empati masyarakat. Memberikan kesadaran bahwa jika Anda abai akan aturan dan anjuran pemerintah pusat dan daerah, maka tindakan Anda akan membahayakan orang lain dan diri sendiri. Harus ada gerakan internalisasi pentingnya kesehatan diri dan lingkungan, yang akan bermuara pada terbentuknya Budaya Bersih dan Sehat. Dengan terbentuknya Budaya Bersih dan Sehat pada setiap individu maka akan terbentuk pula pertahanan yang kuat dalam lingkungan masyarakat melawan virus Covid-19, dan sebaliknya.
Pada intinya untuk membangun relasi empati pada tataran komunikasi antarpribadi perlu dipahami bahwa individu akan menyesuaikan keyakinan (belief) dengan realita yang ada (dalam hal ini norma lingkungan/kelompok sosial). Lebih lanjut, norma yang terbentuk dalam kelompok sosial menimbulkan norma subyektif (subjective norms), Yaitu keyakinan individu mengenai apa yang orang lain atau lingkungan sosial yang inginkan agar ia berbuat.
Dalam teori perilaku terencana (theory of planned behavior), Icek Ajzen (1988) menyatakan bahwa dari norma subyektif seseorang akan memiliki normative belief, yaitu bahwa ketika nilai-nilai kesepakatan dilanggar oleh individu yang menjadi anggota/bagian dari kelompok maka akan timbul sanksi yang dapat merupakan sanksi sosial (berupa hukuman sosial, seperti dikucilkan, dikeluarkan dari keanggotaan) maupun sanksi moral (seperti perasaan bersalah, berdosa dan lainnya).
Menyadari hal ini, kiranya perlu dipertimbangkan untuk memperbanyak dan meningkatkan berbagai upaya kegiatan komunikasi antarpribadi pada setiap kelompok maupun komunitas secara sistematis dan terencana. Karena sudah saatnya dilakukan pendekatan komunikasi yang bersifat pribadi dan bukan lagi massa utuk menekan angka kasus Covid-19 di Indonesia. Semoga dengan terjalinnya relasi empati melalui komunikasi antarpribadi penurunan angka kasus Covid-19 di Indonesia dapat ditekan secara maksimal.
Associate Professor Dr Inge Hutagalung, M,Si: Dosen Tetap Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana