Cemburu TNI yang Tak Kunjung Henti

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

Semua bermula dari Ketetapan MPR No VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.Disusul Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2002 tentang Polri. Sejak itu, Polri terpisan dari TNI. Polri langsung berada di bawah kendali Presiden. Polri tak lagi di bawah kendali Panglima TNI. TNI tak lagi superior atas Polri. Polri tak lagi inferior atas TNI. Maka TNI dilanda “shock culture” (gegar budaya).

Penyerangan Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu (29/8/2020) dini hari, dan juga pada 12 Desember 2018, tak bisa dilepaskan dari fenomena ini: TNI kehilangan superior atas Polri.

Sebelum ini, TNI punya “previlege” atau keistimewaan tersendiri dari negara. Bahkan jika oknum TNI melakukan tindak pidana di ranah sipil, ia tetap diadili di Pengadilan Militer. Hal ini tertuang dalam UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sehingga TNI memiliki imunitas atau kekebalan hukum.

Sampai kemudian datanglah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden dan langsung meng-“obok-obok” TNI.

Tap MPR No VI/2020 itu sendiri lahir pada masa pemerintahan Gus Dur, sebagai bagian dari reformasi TNI yang sebelumnya menjadi penopang utama rezim Orde Baru.

Gus Dur mereformasi TNI, di antaranya memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dengan Panglima TNI. Gus Dur juga mengangkat pejabat sipil sebagai Menhan,yang kemudian menjadi “tradisi” rezim-rezim sesudahnya.

Gus Dur menunjuk Panglima TNI dari TNI Angkatan Laut (AL). Padahal sebelumnya Panglima TNI selalu dijabat TNI Angkatan Darat (AD). Hal ini kemudian menjadi semacam konsensus, di mana jabatan Panglima TNI digilir secara bergantian antar-angkatan. Hadi Tjahjanto, Panglima TNI saat ini berasal dari TNI Angkatan Udara (AU).

Gus Dur juga melikuidasi Badan Koordinasi Strategi Nasional (Bakorstanas) pengganti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), dan menghilangkan Penelitian Khusus (Litsus).

Kini, ketika Polri tak lagi di bawah TNI, ada semacam kecemburuan dari oknum-oknum TNI kepada polisi yang tak kunjung terhenti. Kondisinya bak api di dalam sekam. Gesekan sedikit saja bisa memantik api.

Di pihak lain, polisi makin percaya diri. Jika ada intimidasi dari oknum TNI misalnya, mereka tak akan segan-segan untuk melawan.

Di tingkat “grass roots” (akar rumput) atau tentara dan polisi berpangkat rendahan, kondisinya bak rumput kering yang mudah terbakar. Penyerangan Mapolsek Ciracas yang terjadi hingga dua kali hanyalah fenomena puncak gunung es di samudera.

Bagaimana bisa Prajurit Dua MI dengan mudah menyebar “hoax” (kabar palsu) bahwa dirinya dikeroyok, padahal kecelakaan tunggal lalu-lintas, yang kemudian “hoax” itu memprovokasi rekan-rekan seangkatannya (2017) untuk menyerang Mapolsek Ciracas, kalau memang kondisi “grass roots” tidak bak api dalam sekam? Kebohongan Prada MI ibarat api yang disulutkan ke rumput kering yang sudah diguyur minyak.

Dus, sepanjang September 2002 hingga Juni 2018 saja, sedikitnya ada 13 kasus bentrokan TNI dan Polri. Jumlah korban meninggal dunia 6 orang, korban luka-luka 24 orang termasuk sipil. Pada 12 April 2019, misalnya, 3 polisi tewas dan 2 polisi luka-luka dalam bentrokan TNI-Polri di Memberamo Raya, Papua.

Dalam konflik TNI-Polri, tidak selalu polisi yang menjadi korban, melainkan juga tentara. Misalnya bentrokan TNI-Polri di Palembang, Sumatera Selatan, 13 November 2015, dua anggota TNI menjadi korban penembakan.

Sayangnya, penyelesaian konflik-konflik itu tak pernah tuntas. Pimpinan TNI dan Polri ibarat pemadam kebakaran saja. Ibarat sakit, obat yang diberikan hanya pereda nyeri yang sifatnya sementara. Obat habis, penyakit kambuh lagi.

Proses hukumnya pun relatif tidak transparan. Akibatnya, konflik TNI-Polri terus terjadi.

Entah kini penyelesaian konflik TNI-Polri terkait penyerangan Mapolsek Ciracas jilid dua, apakah akan komprehensif dan tuntas atau tidak. Sepintas yang tampak di permukaan, Kepala Staf TNI AD Jenderal Andika Perkasa bersikap tegas. Ia tidak saja akan memecat semua prajurit yang terlibat, tetapi juga akan memidanakan mereka. Mereka juga harus membayar ganti rugi dengan dipotongnya gaji mereka secara tanggung renteng.

Sayangnya, belum apa-apa Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Dudung Abdurachman sudah menyampaikan “apologia”. Menurutnya, keterlibatan para prajurit itu karena tertipu kabar bohong tentang pengeroyokan MI.

Apakah penyelesaian kasus Mapolsek Ciracas jilid dua ini akan tuntas, sehingga bisa menciptakan “shock teraphy” (terapi kejut) bagi prajurit-prajurit TNI lainnya, dan menimbulkan “deterrent effect” (efek jera) bagi prajurit-prajurit yang terlibat?

Kita tunggu saja tanggal mainnya. Siap, Jenderal Andika!

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *