Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Gambar lebih berbicara daripada kata-kata. Itulah mungkin prinsip yang dianut oleh seorang “netizen” atau warga dunia maya yang mengedit kepala burung Garuda pada lambang Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menjadi kepala Lobster, sejenis udang yang mirip kepiting karena memiliki dua capit.
“Meme” kepala Lobster pada lambang Partai Gerindra itu pun kemudian viral di media sosial setelah diunggah oleh akun Twitter @Puspen_PKI, Selasa (7/7/2020).
Dalam “The Art of Self-Laughing (Seni Menertawakan Diri)”, salah satu indikator kecerdasan manusia adalah ia sanggup menertawakan kekonyolannya sendiri. Itulah mungkin prinsip yang dipegang Habiburokhman, Juru Bicara Partai Gerindra, yang menganggap pengeditan kepala burung Garuda pada lambang partainya menjadi kepala Lobster, sekadar lucu-lucuan belaka.
Pengunggah meme kepala Lobster pada lambang Gerindra itu tak perlu menyebut nama-nama kroni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang mendapat izin ekspor benih Lobster. Meme itu lebih banyak bicara, melampaui berjuta kata.
Semua bermula dari kebijakan Menteri Edhy Prabowo yang tak lain Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, yang membuka keran ekspor benih Lobster yang sebelumnya dilarang Susi Pudjiastuti, menteri yang digantikannya.
Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 12 Tahun 2020 yang terbit pada 5 Mei 2020, benih atau benur Lobster berbobot kurang dari 200 gram dengan panjang karapas kurang dari delapan sentimeter, yang semasa Susi wajib dibudidayakan di dalam negeri, kini boleh dijual bebas ke mancanegara alias diekspor.
Kebijakan Susi melarang ekspor benih Lobster, menurut Edhy, merugikan nelayan penangkap benur di seluruh pelosok Tanah Air. Penghidupan mereka hilang.
Edhy yakin, kebijakannya itu bisa mendatangkan devisa. Dalam kalkulasinya, benih Lobster bisa laku hingga Rp 139.000 per ekor. Ia mengklaim selama ini hanya 1% benur yang bisa berkembang di alam bebas karena Indonesia tak punya teknologi budi daya Lobster yang mumpuni. Larangan ekspor, katanya, hanya menyuburkan penyelundupan.
Mengapa kebijakan Menteri Edhy dipersoalkan penyunting lambang Gerindra? Selain merugikan secara ekonomi, ya itu tadi, karena ada kroni.
Dikutip dari Majalah “Tempo” edisi Senin, 6 Juli 2020, terdapat 25 Perseroan Terbatas (PT), 3 Persekutuan Komanditer (CV), dan 2 Usaha Dagang (UD) yang menjadi pengekspor benur Lobster.
Di PT Royal Samudera Nusantara, misalnya, terdapat nama Ahmad Bahtiar Sebayang sebagai Komisaris Utama. Bahtiar adalah Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, “underbouw” Gerindra.
Juga ada PT Bima Sakti Mutiara, yang hampir semua sahamnya dimiliki PT Arsari Pratama. Komisaris Bima Sakti adalah Hashim Djojohadikusumo, adik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Gerindra.
Putri Hashim, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang merupakan Direktur Utama PT Arsari Pratama juga masuk dalam daftar pengekspor Lobster. Sarah, panggilan akrabmya, juga anggota DPR RI.
Lalu, ada PT Agro Industri Nasional (Agrinas) yang sahamnya dikuasai Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan yang berada di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan. Namun direksi dan komisarisnya didominasi kader Gerindra.
Dalam struktur organisasi perusahaan tersebut, ada nama Rauf Purnama (anggota Dewan Pakar Gerindra), yang menjabat Direktur Utama.
Kemudian direkturnya, Dirgayuza Setiawan (Ketua Bidang Media Sosial dan Informasi Publik Gerindra), Haryadin Mahardika (calon anggota DPR RI 2019-2024 dari Gerindra), dan Simon Aloysius Mantiri (anggota Dewan Pembina Gerindra).
Tak hanya itu, terdapat nama Eka Sastra (anggota DPR RI 2014-2019 dari Partai Golkar) sebagai Komisaris PT Maradeka Karya Semesta. Ada pula Fahri Hamzah (Wakil Ketua Umum Partai Gelora, mantan Wakil Ketua DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera) sebagai pemegang saham PT Nusa Tenggara Budidaya.
Pun, ada Sakti Wahyu Trenggono (Wakil Menteri Pertahanan) dan Eko Djaimo Asmadi (mantan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP) sebagai Komisaris Utama, dan Komisaris PT Agro Industri Nasional.
Lebih Baik Mantan Bromocorah
Lebih baik mantan bromocorah daripada mantan ustaz. Mantan bromocorah, dulu orang jahat sekarang sudah menjadi orang baik. Sebaliknya, mantan ustaz, dulu orang baik sekarang bisa jadi orang jahat.
Mungkin itulah logika yang dipakai Menteri Edhy, sehingga tak mempersoalkan bekas penyelundup benih Lobster yang kini resmi berbisnis setelah adanya Peraturan Menteri KP No 12 Tahun 2020 yang melegalkan ekspor benur. Paling tidak ada dua bekas penyelundup yang pernah dihukum, kini melakukan bisnis yang sama: ekspor Lobster!
“Bagi saya, masa lalu adalah masa lalu. Yang jelas sekarang saya melihat dari sisi aturan, sisi keamanan lingkungan, dan keberlangsungan,” ujar Edhy.
Inilah salah satu titik terbesar yang dipersoalkan publik, termasuk mungkin pengunggah meme kepala Lobster pada lambang Gerindra yang menggantikan kepala Garuda itu.
Sesunggguhnya meme itu dari sisi artistik tak kalah keren dengan lambang Gerindra. Bukankah Lobster bisa menyapit, tak kalah keren dengan Garuda yang bisa mematok atau mencengkeram?
Kecuali bila Garuda dalam lambang Gerindra itu diasosiasikan dengan lambang negara, tentu sangat sakral, sehingga penyuntingan kepala Garuda menjadi kepala Lobster itu tentu saja sebagai tindakan “kurang ajar”.
Untungnya, Habiburokhman ternyata cerdas, dan menganggap penyuntingan itu sekadar lucu-lucuan belaka. Padahal bisa saja si penyunting lambang Gerindra hendak menyatakan otak udang melalui kepala Lobster itu.
Tapi paling tidak Habiburokhman sanggup menertawakan kekonyolan partainya.
Konyol, karena bergabung dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo, setelah sebelumnya oposisi selama lima tahun, ternyata sekalian mengusung misi “bisnis”.
“it’s just business, nothing personal,” kata Don Corleon, tokoh utama dalam novel “The Godfather” karya Mario Puzo, dan tiga film “The Godfather” yang disutradarai Francis Ford Coppola.
Benarkah? Biarlah Lobster Gerindra yang bicara.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.