Oleh: Dr Sumaryoto Padmodiningrat MM
Gugatan sudah digulirkan. Aspirasi rakyat sudah disuarakan. Nasib Dana Desa dan rakyat desa kini ada di palu Mahkamah Konstitusi (MK). Akankah MK berpihak pada rakyat?
Semestinya demikian. Sebab, putusan hakim selalu didahului dengan frasa demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berpihak kepada rakyat berarti berpihak kepada Tuhan, karena suara rakyat adalah suara Tuhan, “vox populi vox Dei”.
Demi mengawal suara rakyat, ratusan kepala desa dan perangkat desa dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan Sulawesi Selatan menggeruduk gedung MK di Jakarta, Selasa (7/7/2020), saat MK sedang menggelar sidang perdana gugatan “judicial review” atau uji materi atas Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2020.
Ya, sejumlah kepala desa (kades) mengajukan permohonan uji materi atas UU No 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
Gugatan itu diterima MK pada 23 Juni 2020 dengan surat tanda terima bernomor 1991/PAN.MK/VI/ 2020 dengan nomor Perkara 47/PUU-XVIII/2020.
Ada dua pemohon yang mengajukan “judicial review”, yakni Triono selaku kades Grudo, Ngawi, dan Suyanto selaku kades Baderan, Ngawi, Jatim. Keduanya merupakan kades yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantara.
Yang digugat adalah Pasal 28 ayat (8) UU No 2/2020 yang berbunyi, ”Pada saat Perppu ini mulai berlaku maka Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya UU No 6/2014 tentang Desa dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.”
Pasal 28 ayat (8) UU tersebut menghapus Pasal 72 ayat (2) UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur keuangan desa, terutama soal penggunaan Dana Desa (DD) sebagai bagian dari sumber pendapatan desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Konsekuensinya, DD dihentikan. Akibatnya, tak ada pembangunan di desa yang banyak menyerap tenaga kerja. Padahal, akibat pandemi Covid-19, banyak warga desa yang menganggur. Nasib rakyat desa pun ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.
UU No 2/2020 membuat kades tidak punya kewenangan dalam menentukan kebijakan pengelolaan DD. Padahal setiap desa punya skala prioritas yang berbeda-beda sesuai kondisi alamnya.
UU tersebut juga bakal menghilangkan hak keuangan perangkat desa dan kades.
Perangkat desa terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, bendahara desa dan pegawai desa lainnya, tak terkecuali semua yang selama ini menerima honor dari DD, di antaranya guru TKA/PAUD/TPQ, PPKBD sub PPKB, dan kader Posyandu. Selama ini perangkat desa, sebagaimana tersurat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 11 Tahun 2019, penghasilannya adalah 30 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan salah satu sumber keuangan APBDes adalah DD (50-60 persen).
Adapun Pasal 72 ayat (2) UU No 6/2014 berbunyi, “Alokasi anggaran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan”.
Ingkari Nawacita
Jumlah desa di seluruh Indonesia lebih dari 74 ribu. Bila satu desa rata-rata ada 10 perangkat desa, maka jumlah perangkat desa sebanyak 740 ribu.Mereka adalah garda terdepan pemerintah dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Mereka juga tokoh-tokoh yang suaranya didengarkan rakyat, sekaligus mendengarkan jeritan hati nurani rakyat. Merekalah para wakil rakyat sesungguhnya.
Maka ketika mereka sudah bersuara, siapa pun wajib mendengarkan. Ketika pemerintah tak mau lagi mendengarkan, mereka pun berpaling ke MK.
Kini, asa pamungkas atau harapan terakhir rakyat desa ada di MK yang merupakan benteng terakhir bagi para pencari keadilan. Asa rakyat dititipkan di hati nurani sembilan hakim konstitusi. Maka, Pak Hakim, tolong jangan kecewakan rakyat, dengan memberikan keputusan yang berpihak kepada rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan.
Mengapa para kepala desa dan perangkat desa berpaling ke MK atau yudikatif? Sebab mereka sudah kecewa terhadap eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR RI) yang sudah “bersekongkol” menerbitkan UU No 2/2020.
Ini adalah kekecewaan mereka yang kesekian kalinya setelah Presiden Joko Widodo ingkar janji untuk mengangkat mereka menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau minimal penghasilan mereka disetarakan dengan ASN golongan IIA.
Janji perangkat desa diangkat menjadi PNS disampaikan Jokowi bersama Jusuf Kalla dalam konferensi pers di Bandung, Jabar, 3 Juli 2014 atau enam hari menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Saat itu, sebagai calon presiden-wakil presiden, Jokowi-JK berjanji untuk menyejahterakan desa dengan mengalokasikan dana rata-rata Rp 1,4 miliar per desa per tahun, dan mengangkat para perangkat desa menjadi ASN.
Tak kunjung ditepati, pada 24 Oktober 2017 puluhan ribu perangkat desa menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta. Namun, tuntutan agar mereka diangkat menjadi ASN hingga kini masih “zonk” alias nihil.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi, yakni ingkar janji untuk mengangkat perangkat desa menjadi ASN, dan menghentikan DD gara-gara pandemi Covid-19 adalah pengingkaran terhadap janji kampanyenya sendiri yang terumuskan dalam Nawacita.
Cita ke-3 dari Nawacita adalah, “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.
Kalau memang mau membangun Indonesia dari pinggiran, mengapa DD harus dihentikan?
Apakah dengan adanya pandemi Covid-19 lalu aktivitas dan kehidupan masyarakat desa akan berhenti? Tentu tidak! Semua harus terus berjalan. Roda kehidupan desa harus terus berputar. Pemerintahan desa juga harus tetap berjalan.
Tapi bagaimana kehidupan masyarakat desa mau berjalan bila DD dihentikan? Di tengah pandemi Covid-19, kehidupan dan aktivitas masyarakat desa seharusnya mendapatkan penanganan spesifik. Masyarakat justru harus semakin produktif. Kalau sebelumnya bisa santai-santai, sekarang tidak. Mereka harus melipatgandakan pekerjaan.
Para Pak Hakim dan Bu Hakim di MK, kini nasib DD dan rakyat desa ada di palu yang akan kalian ketukkan.
Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI/Mantan Ketua Dewan Pembina Persatuan Perangkat Desa Republik Indonesia (PPD RI)/Chief Executive Officer Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.