Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Presiden Joko Widodo marah besar dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni 2020. Penyebabnya? Takut!
Menteri-menteri kena marah Presiden Jokowi dalam sidang kabinet itu. Penyebabmya? Takut!
Ya, semua dihantui ketakutan. Presiden takut. Menteri-menteri takut. Manifestasi dan kompensasi dari rasa takut itu: Jokowi marah!
Jokowi takut dibilang tidak bisa mengatasi pandemi Covid-19 ini. Korban Covid-19 terus berjatuhan. Rakyat terancam kelaparan. Buruh banyak menjadi pengangguran. Tapi anggaran sangat sedikit tersalurkan. Anggaran kesehatan untuk pemulihan ekonomi saja baru cair 1,53% dari angka Rp 75 triliun. Bantuan sosial pun tak banyak tersalurkan.
Menurut sebuah penelitian, seseorang akan menunjukkan kemarahan jika ada yang mengusik citra, keberadaan, dan egonya.
Seseorang juga bisa mengungkapkan ketakutannya melalui kemarahan, jika ia merasa khawatir tentang kesejahteraan seseorang yang dia pedulikan. Dalam hal Jokowi, 267 juta rakyat Indonesia.
Jokowi takut. Sebab itu, Jokowi marah. Jokowi siap mempertaruhkan reputasi politiknya. Sebagai kompensasi atas rasa takutnya itu, Jokowi pun memgeluarkan ancaman: reshuffle kabinet!
Lantas, mengapa menteri-menteri kena marah? Sebab, mereka pun takut. Anggaran belum banyak cair, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, bukan karena tidak ada uang, melainkan karena takut.
Menteri-menteri takut salah prosedur, sehingga ekstra-hati-hati dalam mengucurkan anggaran. Sebab, salah prosedur pun bisa dijerat dengan pasal korupsi, yakni penyalahgunaan wewenang. Apalagi bila ada yang diuntungkan, baik diri sendiri, orang lain atau pun korporasi. Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi mengatur tentang itu.
Ya, menteri-menteri takut masuk penjara. Apalagi hanya gara-gara salah prosedur dalam mengucurkan anggaran. Padahal mereka tidak mencuri.
Rasa takut yang berlebihan itu akhirnya menjadikan menteri-menteri mengabaikan UU No 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Padahal, UU yang disahkan DPR RI pada 12 Mei 2020 itu memberikan imunitas atau kekebalan hukum bagi mereka.
Pasal 27 ayat (2) dan (3) UU No 2 Tahun 2020 menyebutkan segala tindakan pemerintah dan/atau anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata, sekaligus keputusan dan tindakan yang diambil bukan merupakan objek tata usaha negara.
“Ketakutan tidak ada di mana pun, kecuali di dalam pikiran” (Dale Carnegie, 1888-1955).
Kini, setelah dimarahi Jokowi, menteri-menteri itu lebih takut lagi. Mereka takut terkena resafel atau perombakan kabinet.
“Freak Out”
Takut, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana.
Rasa takut adalah “defence mechanism” atau mekanisme pertahanan diri. Maksudnya, rasa takut timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh adanya kecenderungan untuk membela diri sendiri dari bahaya atau hanya perasaan yang tak enak terhadap sesuatu hal.
Sesungguhnya bila ditelisik lebih dalam, saat menumpahkan kemarahannya itu, Presiden Jokowi sedang mengalami perasaan emosional ekstrem atau yang sering disebut dengan istilah “freak out”.
Dihimpun dari berbagai sumber, “freak out” adalah hal yang sering dialami oleh banyak orang. Perasaan ini muncul tanpa peringatan, dan disebabkan oleh pikiran bawah sadar manusia yang telah mengidentifikasi sesuatu yang membuat cemas dan tidak aman. “Freak out” merupakan bagian dari rasa takut atau pun kemarahan yang luar biasa.
Ketakutan maupun kepanikan yang berlebihan sering diiringi dengan lonjakan emosi yang ekstrem, sehingga ketakutan dalam level tertentu dapat menyebabkan reaksi emosional yang kemudian kita kenal sebagai “freak out”.
“Freak out” adalah cara lain untuk mengatakan bahwa seseorang kehilangan ketenangan atau kendali emosi secara tak terduga. Hal inilah yang menyebabkan seseorang sulit mengatur emosi ketika mengalami kepanikan, seperti bersikap agresif, berkata kotor, bersembunyi, atau pun melarikan diri.
Bagaimana “freak out” dapat terjadi? Pada dasarnya kepanikan merupakan bagian dari emosi kuat yang datang dari persepsi individu terhadap segala hal yang membuat takut dan marah.
Emosi-emosi tersebut tersimpan di pikiran bawah sadar dan tanpa disadari dievaluasi oleh pikiran individu Akibatnya, sistem evaluasi emosional tersebut membajak kompleks pikiran maupun tubuh individu.
Selama episodenya, “freak out” dapat berlangsung selama beberapa saat ketika seseorang telah bertemu dengan pemicunya. Bentuk pemicunya bisa berupa keadaan eksternal, perasaan internal, pikiran, memori, kekhawatiran, dan segala sesuatu yang diprogram di otak bawah sadar.
Pemicu-pemicu tersebut diidentifikasikan sebagai ancaman sehingga menyebabkan seseorang mengalami respons rasa takut. Seluruh keadaan ini diprogram di dalam struktur otak yang disebut amigdala.
Bagian ini memiliki kemampuan untuk mencatat dan merekam setiap kejadian dalam emosi yang signifikan. Dalam hal ini amigdala berfungsi sebagai pelindung individu dari berbagai hal yang diifentifikasikan sebagai ancaman dan berbahaya.
Apakah Presiden Jokowi saat ini dalam keadaan bahaya? Biarlah waktu yang bicara.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.