Noktah Merah Demokrasi Kita

 

Oleh: Dr Sumaryoto Padmodiningrat MM

Televisi Republik Indonesia (TVRI), Selasa (16/6/2020), memutar film “Istirahatlah Kata-kata” (2017/Yosep Anggi Noen) yang berkisah tentang Wiji Thukul, penyair serta aktivis buruh dan hak asasi manusia (HAM) kelahiran Solo, Jawa Tengah, 23 Agustus 1963 yang raib entah ke mana sejak 23 Juli 1998 hingga kini.

Wiji Thukul adalah salah satu ikon perlawanan terhadap Orde Baru menjelang keruntuhan rezim yang dipimpin Presiden Soeharto itu. Mungkin karena itulah TVRI, stasiun televisi milik pemerintah, memutar film “Istirahatlah Kata-kata”. Rezim yang sedang berkuasa saat ini, yang dipimpin Presiden Joko Widodo, tampaknya ingin mengambil jarak bahkan mungkin ingin menjadi antitesis dari rezim Orde Baru.

Tapi tidak! Ibarat menepuk air di dulang memercik muka sendiri, film “Istirahatlah Kata-kata” justru menjadi bumerang yang menyerang balik pemerintah.

Ya, mungkin pemerintah alpa bahwa salah satu puisi Wiji Thukul yang difilmkan itu, “Peringatan” (1986), justru telah “menampar” muka pemerintah sendiri. Betapa tidak?

Dalam sajak “Peringatan”, Thukul menulis:

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam
Kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Disadari atau tidak, puisi di atas sesungguhnya menampar muka pemerintah sendiri yang akhir-akhir ini cenderung bertindak “represif” atau sekurang-kurangnya melakukan pembiaran terhadap tindakan represif yang dilakukan aparat penegak hukum atau oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab.

Sederet peristiwa patut dicatat di sini. Pertama, dugaan teror terhadap penyelenggara diskusi virtual di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Sedianya diskusi dengan tajuk awal ‘Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’ itu akan digelar pada Jumat (29/5/2020) secara virtual. Namun belakangan, tajuk diskusi diganti menjadi ‘Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’. Akibat adanya dugaan teror, diskusi tersebut akhirnya dibatalkan.

Kedua, dugaan serangan “buzzer” terhadap komika Bintang Emon yang menyindir tuntutan ringan terhadap Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, dua terdakwa teror air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020).

Ketiga, pemanggilan terhadap Ismail Ahmad, warga Kepulauan Sula, Maluku Utara, oleh Polres setempat, Selasa (16/6/2020). Dalam akun Facebook miliknya dengan nama Mael Sulla, Ismail mengunggah kalimat yang pernah diucapkan Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yakni ‘Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng’ (Gus Dur)’.

Hoegeng dimaksud adalah mendiang Kapolri periode 1969-1971, Jenderal Hoegeng Iman Santosa yang dikenal sebagai polisi jujur.

Ismail sempat akan dipidanakan dengan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2008 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2019 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun akhirnya dilepaskan.

Pemerintah dan aparat penegak hukum mestinya jeli memilih dan memilah serta membedakan mana kritikan dan mana ujaran kebencian atau penghinaan. Tidak bisa hantam kromo.

UU ITE memang menjadi momok di era Reformasi ini, karena terdapat pasal karet bak pedang bermata dua yang penerapannya tergantung penguasa. Sebagai pedang bermata dua, ia biasanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Lihat saja banyak “buzzer” anti-pemerintah yang kemudian diproses secara hukum. Sebaliknya, banyak “buzzer” pro-pemerintah yang “unthouchable” atau tak tersentuh oleh hukum. Betapa banyak orang yang telah menjadi “korban” “keganasan” UU ITE ini.

Dus, bila di era Orde Baru ada UU Antisubversi, di era Reformasi ini ada UU ITE yang sama-sama menjadi momok di era masing-masing.

Mengapa ada fenomena kritikan dianggap sebagai penghinaan atau ujaran kebencian? Bukankah kebebasan berbicara merupakan bagian dari demokrasi dan hak asasi yang dilindungi konstitusi dan undang-undang?

Kebebasan berpendapat diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Kebebasan berpendapat juga diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.”

Langkah pemerintah yang cenderung represif terhadap mereka yang bersuara kritis akhir-akhir ini mengingkari demokrasi yang dengan susah payah telah diperjuangkan mahasiswa dan rakyat pada 1998. Sikap represif pemerintah telah menjadi noktah merah dalam demokrasi kita.

Kalau pemerintah saat ini cenderung represif terhadap mereka yang bersuara lain, lalu apa bedanya dengan rezim Orde Baru yang telah dengan susah payah ditumbangkan oleh mahasiswa dan rakyat?

“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah” (Soe Hok Gie, 1942-1969).

Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *