Covid-19: Ambyar di Tengah Dilema

Oleh: Dr Sumaryoto Padmodiningrat MM

Bak menghadapi buah simalakama: dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati.

Itulah dilema yang dihadapi pemerintah terkait pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang sedang melanda dunia, termasuk Indonesia saat ini. Betapa tidak?

Untuk mengatasi penyebaran dan penularan Covid-19, yang kasusnya pertama kali ditemukan di Depok, Jawa Barat, 2 Maret 2020, pemerintah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

DKI Jakarta yang saat itu dinyatakan sebagai episentrum penyebaran Covid-19 dan berzona merah pertama, mulai memberlakukan PSBB pada 10 April 2020. Sedangkan daerah-daerah lain menyusul kemudian.

Sekian waktu berjalan, ternyata korban Covid-19 terus berjatuhan. Pemerintah kemudian dihadapkan pada dilema: bila PSBB diteruskan, maka perekonomian akan stagnan bahkan bisa kolaps. Saat ini sudah lebih dari 2 juta buruh terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Sementara bila PSBB dihentikan dan berganti dengan “new normal”, maka jatuhnya lebih banyak korban tak akan terelakkan. Di tengah dilema yang sulit itu, pemerintah sudah terlanjur mengambil keputusan: menghentikan PSBB, memberlakukan status “new normal”. Ternyata konsekuensinya: ambyar!

Betapa tidak? Dalam tiga hari terakhir, penambahan kasus positif Covid-19 mencapai rekor, yakni berada di kisaran angka 1 000.

Kamis (11/6/2020) ini, jumlah kasus positif Covid-19 bertambah 979 orang, sehingga total menjadi 35.295 kasus, dari sebelumnya 34.361 kasus.

Kemudian, terdapat 507 orang pasien sudah sembuh, sehingga total menjadi 12.636 orang dari sebelumnya 12.129 orang. Sementara terdapat 41 kasus pasien yang meninggal dunia dari konfirmasi positif Covid-19, sehingga menjadi 2.000 orang, dari sebelumnya 1.959 orang.

Rabu (10/6/2020), terjadi penambahan positif Covid-19 sebanyak 1.241 orang, dan Selasa (9/6/2020) bertambah 1.043 orang.

Pertanyaannya, apa yang paling sulit dilakukan anak-anak bangsa ini? Disiplin! Itulah mengapa penerpan status “new normal” dalam masa pandemi Covid-19 ini “ambyar”. Baru sepekan diterapkan, jumlah kasus positif Covid-19 justru meningkat bahkan memecahkan rekor. Setelah “ambyar”, so what gitu, lho?

“New normal” itu sendiri, menurut Juru Bicara Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, ialah tatanan, kebiasaan dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat.

Adapun cara yang dilakukan ialah rutin mencuci tangan memakai sabun dengan air mengalir, memakai masker saat keluar rumah, menjaga jarak fisik dan jarak sosial (physical and social distancing) yang aman, yakni 1,5 hingga 2 meter, dan menghindari kerumunan.

Sedangkan tujuan dari penerapan “new normal”, menurut Presiden Joko Widodo, ialah agar kita produktif bekerja tapi tetap aman dari ancaman Covid-19.

“New normal”, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lebih suka menyebutnya “PSBB Transisi”, diberlakukan per 5 Juni 2020 untuk mengakhiri penerapan status PSBB yang di Jakarta mulai berlaku per 10 April 2020.

“New Normal” yang Abnormal

Ternyata, “new normal” tersebut justru abnormal alias tidak normal. Sebab, banyak di antara kita yang kembali ke perilaku semula seperti sebelum adanya wabah corona. Buktinya, antara lain banyak pedagang pasar yang terjangkit Covid-19.

Di DKI Jakarta saja, pedagang pasar yang terjangkit corona mencapai 51 orang, dengan rincian Pasar Perumnas Klender, Jakarta Timur, 20 orang, Pasar Mester, Jatinegara, juga Jaktim, 1 orang, Pasar Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat, 9 orang, Pasar Kedip, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2 orang, Pasar Rawa Kerbau, Cempaka Putih, juga Jakpus, 14 orang, dan
Pasar Induk Kramat Jati, Jaktim, 5 orang.

Kita tak bisa membayangkan bila nanti mal-mal atau pusat-pusat perbelanjaan modern, dan sekolah-sekolah dibuka. Mungkin akan bertambah ambyar.

Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab? Apa yang harus dilakukan pemerintah. So what gitu lho?

Masih terngiang di telinga kita ketika pihak pemerintah berjanji akan kembali memberlakukan PSBB bila ternyata “new normal” “menelan” lebih bamyak korban. Janji ini harus ditepati. Pemerintah jangan semata-mata mementingkan perekonomian dengan menomorsekiankan keselamatan warga. Pemerintah bahkan harus mengutamakan keselamatan warga, karena keselamatan masyarakat adalah hukum tertinggi di republik ini.

“Salus populi suprema lex esto”, kata Marcus Tullius Cicero (106-43 SM).

Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *