Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Mengapa pelarian Nurhadi bisa berlangsung lama, nyaris empat bulan, dan baru bisa ditangkap Senin (1/6/2020) malam lalu di Jalan Simprug Golf XVII/1 Kebayoran Lama, Jakarta Selatan? Sebab, diduga ada “Big Godfather” (“BG”) yang melindungi di belakangnya.
Mengapa Harun Masiku dan seorang lainnya tidak tertangkap ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu Setiawan, 8 Januari 2020? Sebab, diduga juga ada BG yang melindungi di belakangnya.
Ternyata, di seberang KPK ada BG yang diduga melindungi para bromocorah. Mengapa itu terjadi?
Mungkin BG punya trauma masa lalu dengan KPK, sehingga perlu melawan untuk balas dendam dan menghancurkan KPK. Maklum, KPK pernah menjelma menjadi “kuda liar”.
Sakit hati dan kebencian memang bisa bertransformasi menjadi energi dahsyat yang bisa meluluhlantakkan segalanya. Hal inilah yang dimanfaatkan para pesakitan KPK untuk mencari perlindungan. Lawan dari lawan adalah kawan. Itulah pameonya.
Diberitakan, usai rumahnya di Jalan Hang Lekir V/6 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, digeledah KPK pada 21 April 2016, pihak Nurhadi konon langsung menelepon pihak BG untuk minta perlindungan. Namun kata Nurhadi kepada penyidik, telepon itu sekadar pemberitahuan kepada teman baik.
BG yang ditelepon pihak Nurhadi itu bisa jadi BG lainnya, bukan “Big Godfather” yang kemudian diduga melindunginya.
Mungkin pula BG mendapat benefit, baik benefit ekonomi maupun politik. Maklum, yang ia lindungi adalah orang-orang kaya. Nurhadi diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 46 miliar.
Diberitakan pula, saat dikejar penyidik KPK usai penangkapan Wahyu Setiawan, Harun Masiku dan seorang lainnya diduga bersembunyi di sebuah kampus dekat sebuah markas di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ketika hendak memasuki kampus itu, justru penyidik KPK yang diduga terkena “prank”.
Nurhadi, lengkapnya Nurhadi Abdurrachman, adalah mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) yang ditetapkan KPK sebagai tersangka mafia hukum atau pengaturan perkara di MA periode 2011-2016 sejak 16 Desember 2019 dan dinyatakan buron sejak 13 Februari 2020 karena tak pernah hadir saat dipanggil untuk diperiksa.
Selagi menjabat, sebelum undur diri pada 1 Agustus 2016, ia sangat berkuasa. Pegawai negeri kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 19 Juni 1957 ini bisa mengatur perkara dan hakim yang akan menyidangkan perkara, serta bisa mengintervensi pejabat pengadilan dan Hakim Agung MA.
Dulu berkuasa, Nurhadi kini dalam penguasaan KPK. Dulu biasa mengatur perkara, kini Nurhadi tersandung perkara. Dulu biasa mengintervensi hakim, kini Nurhadi akan berhadapan dengan hakim. Nurhadi, riwayatmu kini.
Setelah Nurhadi Tertangkap
Lalu, bagaimana riwayat Harun Masiku? Ia adalah tersangka kasus suap Wahyu Setiawan, saat itu Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), terkait Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR RI, yang juga melarikan diri. Sejak ditetapkan sebagai buron hampir bersamaan dengan Nurhadi, hingga kini Masiku tak terendus di mana rimbanya.
Ada yang berspekulasi, Masiku yang ditetapkan KPK sebagai tersangka pada 10 Januari 2020 itu sudah tewas. Ia konon sengaja dibunuh untuk menghilangkan jejak keterlibatan pihak-pihak lainnya.
Untuk apa Masiku menyuap Wahyu? Calon anggota legislatif (caleg) PDI Perjuangan dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I ini ingin mengusai kursi DPR RI yang seharusnya diduduki Nazaruddin Kiemas, yang sayangnya adik kandung mendiang Taufiq Kiemas ini meninggal dunia pada 26 Maret 2019 atau sebelum pemungutan suara Pemilu 2019 digelar pada 17 April 2019, sehingga kursi empuknya menjadi milik peraih suara terbanyak kedua, Riezky Aprilia (44.402 suara). Dengan fulus, meski berada di urutan keempat (5.878 suara), Masiku hendak mendongkel Riezky dari kursi empuknya. Jadi, Masiku dijamin orang kaya. Tak heran bila ia diduga menyuap Wahyu sebesar Rp 600 juta, dan itu pun baru sebagian dari yang dijanjikan.
Ya, Masiku bukan orang sembarangan. Ia “very very important person” (VVIP) bagi PDIP atau minimal bagi petinggi partai berlambang moncong banteng ini. Betapa tidak?
Meski pada Pemilu 2014 Masiku “nyaleg” dari Partai Demokrat, tapi pada Pemilu 2019, PDIP langsung menggelar karpet merah bagi mantan pengacara kelahiran Jakarta, 21 Maret 1971 ini. Masiku menjadi kader karbitan.
Untuk memuluskan langkah Masiku, PDIP bersurat hingga tiga kali ke KPU. Tiga kali bersurat, tiga kali pula ditolak, sampai-sampai PDIP mengajukan permohonan “judicial review” atau uji materi atas Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l juncto Pasal 55 ayat (3) Peraturan KPU No 3 Tahun 2019 pada 8 Juli 2019 yang kemudian dikabulkan sebagian oleh MA pada 19 Juli 2019 melalui putusan No 57 P/HUM/2019, yakni, “Penetapan suara caleg yang meninggal dunia kewenangannya diserahkan kepada pimpinan parpol untuk diberikan kepada caleg yang dinilai terbaik.”
Tidak itu saja, PDIP juga minta fatwa ke MA yang kemudian dijawab ke KPU melalui surat MA No 37/Tuaka.TUN/IX/2019 tanggal 23 September 2019.
Kini, setelah Nurhadi tertangkap, KPK tentu harus bisa menangkap Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto selaku tersangka penyuap Nurhadi yang juga buron.
KPK harus pula menemukan Harun Masiku, hidup atau mati. Bila masih hidup, di mana rimbanya. Bila sudah mati, di mana kuburannya. Perkara ini harus berujung.
KPK juga harus mengungkap siapa sosok BG itu. Bila benar terindikasi melindungi tersangka, maka ia bisa dijerat Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena merintangi proses penyidikan atau “obstruction of justice”. KPK pernah menerapkan pasal ini kepada Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto.
Begitu pun terhadap istri Nurhadi, Tin Zuraida, yang ikut diamankan KPK saat penangkapan Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono yang juga menjadi tersangka kasus yang sama dan juga buron. Tin yang juga bisa dijerat dengan pasal “obstruction of justice” sejauh ini masih berstatus saksi.
Mampukah KPK mengungkap siapa sosok BG? Pertanyannya bukan soal mampu atau tidak mampu, melainkan soal mau atau tidak mau, berani atau tidak berani.
Soal kemampuan, KPK tak perlu diragukan lagi karena didukung perangkat teknologi super canggih. Percakapan telepon pihak Nurhadi dengan pihak BG saja bisa disadap, kok.
Beranikah KPK mengungkap sosok BG? Di sinilah kita terkadang merasa tidak yakin, mengingat “back ground” Ketua KPK Firli Bahuri. Apalagi dengan undang-undang yang baru, yakni UU No 19 Tahun 2019 yang menggantikan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, posisi KPK ibarat “lame duck” alias bebek lumpuh. Itulah!
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.