Diskusi Pemakzulan, Mengapa Harus Ada yang Kebakaran Jenggot?

Oleh: Dr Sumaryoto Padmodiningrat

Benarkah diskusi virtual di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang diinisiasi Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Jumat (29/5/2020), dibatalkan karena ada intimidasi bahkan teror yang menimpa pembicara, moderator, dan narahubung diskusi serta Ketua CLS?

Benarkah tema diskusi tersebut berganti, disertai dengan permintaan maaf panitia, dari semula “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” menjadi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” setelah dikritik salah seorang dosen UGM bahwa diskusi tersebut mengandung unsur makar?

Bila kedua hal tersebut benar adanya, maka sesungguhnya apa yang terjadi itu salah. Mengapa?

Pertama, intimidasi dan teror dalam bentuk apa pun tak bisa dibenarkan baik secara etika, moral maupun hukum.

Kedua, tema tersebut mestinya tak perlu berganti, mengingat ihwal pemberhentian atau pemakzulan presiden diatur di dalam konstitusi, yakni Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jadi tema diskusi tersebut masih dalam koridor konstitusional, tidak dapat dikatakan makar. Kalau pun harus ada yang diganti, mestinya sebatas diksi “pemecatan” menjadi “pemberhentian”, karena yang ada di konstitusi adalah kata “pemberhentian”, bukan “pemecatan”. Mengapa harus ada yang merasa kebakaran jenggot?

Bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat pembatalan diskusi itu, dan bagi pihak-pihak yang merasa terintimidasi dan terteror oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, silakan menempuh langkah hukum karena Indonesia ini adalah negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Pertama, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan kedua untuk menghindari fitnah. Bila tudingan adanya intimidasi dan teror itu hanya fitnah, atau sekurang-kurangnya hanya isapan jempol belaka, tanpa bukti hukum, maka tentu saja pihak pemerintah dan aparat keamanan yang paling dirugikan. Jadi, dugaan intimidasi dan teror tersebut seyogianya dilaporkan ke pihak kepolisian.

Atau bisa saja pemerintah dan kepolisian proaktif melakukan penyelidikan tanpa harus menunggu laporan mengingat isu ini telah menjadi atensi publik.

Sementara itu, bila memang benar ada upaya intimidasi dan teror dengan tujuan untuk membatalkan atau menggagalkan diskusi, maka hal tersebut juga tak beralasan dan tak sepatutnya terjadi. Apanya yang perlu ditakutkan dari diskusi tersebut? Presiden tidak akan jatuh hanya gara-gara diskusi di kampus, apalagi hanya secara virtual. Sebab, untuk melakukan “impeachment” atau pemberhentian terhadap presiden, syaratnya cukup berat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 7A UUD 1945.

Pasal 7A menyatakan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Kebebasan Akademik

Bila benar ada upaya menggagalkan atau bahkan membubarkan diskusi di kampus, maka sesunguhnya hal tersebut patut diduga melanggar undang-undang (UU) bahkan konstitusi. Sebab, pijakan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar di kampus sangatlah kuat, baik secara yuridis maupun konstitusional.

Lalu, apa saja yang menjadi pijakan kuat kebebasan akademik dan kebebasan mimbar di Indonesia?

Pertama, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”

Kedua, Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.”

Ketiga, UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, khususnya Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Keempat, secara spesifik kebebasan akademik dan kebebasan mimbar diatur di dalam UU No 12 Tahun 2002 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi.

Kelima, UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan: dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi (PT) berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.

Keenam, UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Pasal 51 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak: (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; (b) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai tugas dan prestasi kerja; (c) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; (d) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; (e) memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan; (f) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan (g) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.

Dalan Pasal 75 UU Guru dan Dosen, kebebasan akademik dan kebebasan mimbar ini dipertegas. Ayat (2) dan (4) menyatakan, seorang dosen berhak atas perlindungan yang mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga profesional yang meliputi pembatasan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.

Bahkan dalam ayat (6) ditegaskan: dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk menggunakan data dan sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang-undangan.

Sedemikian kuatnya pijakan atau landasan hukum kebebasan akademik dan kebebasan mimbar di Indonesia, maka tak sepatutnya bila ada pihak-pihak yang merasa terancam kemudian melakukan intimidasi dan teror agar sebuah diskusi dibatalkan. Ini bukan era Orde Baru, Bung!

Sebuah diskusi di kampus tak akan mampu menjatuhkan seorang presiden, karena persyaratan untuk menjatuhkan presiden sungguh sangatlah berat. Kecuali diskusi itu diikuti dengan gerakan massa dalam aksi demonstrasi, baik di dalam maupun di luar kampus, dan terjadi secara masif, seperti pada saat gerakan reformasi 1998 menjatuhkan Presiden Soeharto.

Antisipasi boleh, paranoid jangan, apalagi bila sampai ada intimidasi dan teror. Bila itu terjadi, maka hukum yang harus bicara.

Di lain pihak, tema diskusi yang diusung CLS memang kurang bijak. Bagaimana bisa di tengah pandemi Covid-19 ini mereka bicara ihwal pemakzulan presiden, apalagi bila pemakzulan itu dikaitkan dengan pandemi? Bukankah pandemi Covid-19 ini merupakan fenomena alam yang bukan hanya menimpa Indonesia melainkan juga hampir seluruh dunia?

Andai saja ada penyimpangan di dalam penanganan Covid-19, misalnya terjadi korupsi yang sudah diantisipasi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 yang sudah disahkan DPR RI menjadi UU, penulis tidak yakin akan sampai melibatkan presiden. Jadi, diskusi itu masih jauh panggang dari api untuk ditakutkan.

Dus, tak ada yang perlu kebakaran jenggot. Belanda masih jauh, Bung!

Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Alumnus UGM / Mantan Anggota DPR RI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *